Quo Vadis Paradigma Berkomunikasi


ADALAH Thomas Samuel Kuhn, bapak paradigma dan pencetus teori scientific revolution dalam pandangan Kuhn, sains tumbuh berkembang dari waktu ke waktu lewat penumbangan-penumbangan teori maka satu konsepsi tentang pandangan dunia digantikan oleh yang lain. ”Maka sains bukanlah akuisisi akumulatif dari pengetahuan,”

Oleh sebab itu, paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya perlu diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para pendukungnya telah mempercayainya. Hanya perlu dicermati dari berbagai macam paradigma yang ada maka paradigma disesuaikan dengan zamannya

Sedangkan kata quo vadis adalah penggunaan kata pertama digunakan pada sebuah lukisan dibuat oleh seorang pelukis ternama Annibale Carracci yang ditempatkan di National Gallery, London pada Tahun 1602. Atau dalam sebuah novel sejarah yang menceritakan zaman Kaisar Romawi, Nero. dalam konteks hubungan ketuhanan.

Dalam bahasa latin berarti: Kemana kau pergi?, dalam politik berarti arah atau jalan yang dipilih, dalam berkomunikasi adalah makna mana dalam proses yang mau dibangun. Dalam ilmu komunikasi paradigma ilmunya berkembang sangat pesat. Selain komunikasi sebagai ilmu sosial yang terus berkembang, paradigma yang mempengaruhinya ikut berkembang secara revolusioner. Paradigma lama dan baru saling mempengaruhi membentuk ilmu komunikasi semakin dalam dan luas sebagai sudut pandang terhadap sesuatu.

 Komunikasi? Sesuatu terdengar sangat mudah, akrab dan tanpa dipelajari pun maka kita sudah tahu dan melakukan namanya komunikasi..Diam pun kita, gerak-gerik dalam bentuk non verbal dari seluruh anggota tubuh kita, tidur sekali pun kita maka kita telah melakukan komunikasi dengan orang lain.

Lalu, ada apa dengan komunikasi sehingga harus dipelajari dan ditelaah sehingga menjadi bahan kajian, melahirkan teori-teori ilmu komunikasi, melahirkan ilmuan-ilmuan komunikasi dan masuk dalam mata perkuliahan atau menjadi sebuah fakultas keilmuan dalam sebuah perguruan tinggi. Dan semua kita paham betul, selagi bertitel sebagai makhluk hidup maka kita akan berkomunikasi dengan orang lain.

Ilmuan Komunikasi Indonesia sebut saja, Prof Jalaludin Rahmat, Prof Deddy Mulyana, Dr Antar Venus sampai Dr Noor Efni Salam, Dr Belli Nasution, Dr Welly Wirman, Dr Yasir, Dr Nurjanah,Dr Suyanto, Dr Anuar Rasyid, Dr Muhammad Firdaus berkesimpulan bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi sosial dalam melahirkan persamaan makna. Dari persamaan makna inilah akhirnya, timbul persepsi terhadap sesuatu dan akhirnya berpengaruh kepada hubungan komunikasi antar pribadi, kelompok dan khalayak dalam interaksi sosial.

Hidup pula di era serba digital dari era 4.0 dan sekarang socety 5.0 maka semua mengalami perubahan proses dan perilaku dalam berkomunikasi secara interaksi sosial. Sesuatu yang dulunya dianggap tabu maka hari ini adalah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dan normal-normal saja dalam membangun interaksi dalam berkomunikasi.

Misalnya, dalam bentuk ucapan senang, duka cita dan mengundang sekali pun. Maka kalau dulu harus dilakukan dengan tatap muka disertai simbol-simbol budaya yang menyertainya maka hari ini cukup dengan medsos maka berkomunikasi sah tersampaikan. Atau bahkan saking canggihnya kita bisa pesan makanan saat sembari berbaring di tempat tidur atau bahkan tanpa mengganggu aktivitas-aktivitas rutin kita.

Komunikasi di era digital identik dengan bagaimana pesan yang kita berikan lewat media-media yang eksis saat ini, cepat sampai dan cepat mendapat responnya melalui media sosial. Apalagi Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil. Tingkat penetrasi internet di Indonesia hingga Maret 2017 mencapai 50,4 persen, meningkat drastis dari tahun 2016 yang tercatat 34,1 persen.

Itulah gaya hidup, dunia milenial dan gaya hidup serba digital telah menjadi bagian dari hidup banyak orang di dunia. Kepraktisan merupakan ciri utama dari perkembangan teknologi digital saat ini. Kita jadi lebih mudah menghubungi orang lain di mana pun, kapan pun. Fenomena itu ternyata ikut mengubah cara kita berkomunikasi.

Paling tidak, ada empat tren komunikasi kedepan yang harus diketahui. Pertama, komunikasi menjadi lebih personal dan emosional. Tren pertama ini terlihat dari maraknya para artis, tokoh masyarakat, institusi membuat channel video youtube sendiri sehingga meninggalkan TV kompensional.

Kedua adalah communication become measurable. Komunikasi yang dilakukan menjadi lebih mudah diukur indikator keberhasilannya. Hal ini secara sederhana bisa diukur dari jumlah penonton, follower, subscriber, jumlah like hingga income yang diterima.

Ketiga adalah komunikasi menjadi lebih digital. Dalam waktu dekat teknologi 3D hologram mungkin sudah bisa diaplikasikan. Membuat interaksi lebih mendekati realitas dengan teknologi 3D dibanding saat ini yang hanya menampilkan gambar live saat video call. Keempat adalah komunikasi semakin visual. Gambar lebih cepat dicerna daripada text. Tepatnya 60.000 kali lebih cepat. Faktanya 93% komunikasi kita memang non verbal communication.

Tren ini harus dibaca sebagai sebuah peluang dalam banyak persepsi dalam berkomunikasi. Artinya, tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah kemudahan dalam proses kita berinteraksi saja. Pada akhirnya, jalan pilihan kita dalam berkomunikasi walaupun secanggih apapun maka dia akan tetap memberikan makna dari pijakan hakekat dari komunikasi yang benar dan beradab. Sebab Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui ayat pertamanya, Iqra bermakna bacalah. Semoga bermanfaat

*Oleh: Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai (Materi kegiatan Wacana Tafidu TV, …tjpls pukul 03.00/Feb/2021)

1 Response to "Quo Vadis Paradigma Berkomunikasi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel