Kebutuhan Aksara Awal Anak Didik



PANDEMI Covid 19 memang belum berakhir. Orang tua, anak didik, apalah lagi guru sangat mendambakan bertatap muka secara fisik dengan seluruh anak didiknya. Lingkungan sekolah akan menjadi ramai lagi, kreatifitas dan inovasi anak terus bisa diasah dan guru dapat dengan sepenuh hati mendidik tunas generasi harapan bangsanya. Sebab, ditangan para gurulah, harapan dan mimpi bangsa ini digantungkan.

Ditengah Pandemi Covid 19 ini, walaupun ini bukan menjadi polemik yang baru muncul tapi sudah lama ditengah-tengah pendidikan usia dini. Namun tetap menjadi hal menarik untuk diperbincangkan yaitu terkait kemahiran dan pembelajaran membaca dan menulis bagi anak usia dini.

Pro dan kontra ini sebenarnya adalah sesuatu yang wajar sebagai upaya untuk mencari jalan terbaik untuk membentuk dan membangun generasi masa depan bangsa. Ada yang berpendapat membaca bagi anak usia dini berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di Sekolah Dasar (SD).    

Disisi lain berpendapat, tidak masalah mengajarkan membaca sejak anak usia dini, agar anak memiliki kesiapan ketika masuk SD. Selain itu kemampuan membaca merupakan salah satu syarat untuk masuk SD. Permasalahan tersebut, membuat orangtua menjadi bingung, mana yang harus diikuti.

Inilah yang namanya, kebutuhan anak usia dini dalam keaksaraan awal. Kajian soal membaca bagi anak usia dini dapat merujuk peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 146 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Dalam pasal 5 dimuat bahwa struktur kurikulum PAUD membuat program-program pengembangan yang mencakup; nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni. 

Diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, pasal 10 berbunyi “keaksaraan, mencakup pemahaman terhadap hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami kata dan cerita”.

Artinya, memahami kata dan cerita itu tidak dilarang, meniru bentuk hurup tidak dilarang. Untuk kita harus memahami kurikulum PAUD, agar kita dapat memahami apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang, itu harus diketahui. Apalagi pada prinsipnya Kurikulum PAUD 2013, mendorong pengembangan optimal potensi peserta didik melalui pengalaman belajar bermakna. 

Belajar bermakna artinya melalui bermain, untuk menumbuhan sikap spritul, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan agar mereka memiliki kesiapan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Namun banyak yang sempit menafsirkan kesiapan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya dengan kemampuan baca, tulis, dan hitung. Sehingga sampai saat ini tetap ada orangtua yang menganjurkan anaknya kursus membaca, menulis,  dan berhitung. Dan ini salah besar, kalau anak belum siap.

Apalagi ini merupakan sebagai kemampuan visual, kognitif, mendengarkan sejak janin memang dianjurkan. Tetapi apakah dalam ketegori membaca teknis, yang membutuhkan pengkodean terhadap simbol dan huruf-huruf dan juga pemaham kemampuan anak. 

Dalam pemahaman sederhana, apakah anak-anak usia rata-rata 1 tahun bisa berjalan. Untuk bisa jalan pertama kali membalikkan badan, tengkurap, duduk, merangkak baru bisa pintar jalan. Membaca juga demikian, apalagi otaknya sedang berkembang. Kalau anak dipaksa usia 1 tahun semuanya harus bisa jalan nanti kakinya ada bengkok, ada yang huruf O kalau belum siap. Sekarang ibu-ibu menggunakan Baby walker padahal kaki-kakinya belum tumbuh sempurna, nah itu berpengaruh besar pada perkembangan kaki anak. Nah demikian juga perkembangan otak kalau dikursuskan membaca.

Walaupun ada Kompetensi Inti kurikulum PAUD 2013 yang berkaitan dengan membaca (K1-4) disebutkan menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif, dan kreatif, serta mencerminkan perilaku anak berakhlak mulia. 

Dari kompetensi dasar, K.1.10 disebutkan  kemampuan berbahasa reseptif (menyimak dan membaca). Tapi lihat indikatornya (4.1.10) untuk usia 4-5 tahun yaitu menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata yang terbatas. Usia 5-6 tahun, yaitu  menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosakata yang lebih. Maksudnya menyimak dan membaca disini adalah orang dewasa membaca atau dongeng yang diceritakan, kemudian anak menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata terbatas untuk anak usia 4-5 tahun dan kosa kata lebih bagi anak usia 5-6 tahun.

Sehingga muncul pertanyaan, apakah harus mengajar membaca di PAUD?, jawabnya tidak. Tidak mengajar membaca, tidak mengajar membaca bunyi, tidak keaksaraan konvensional. Tetapi harus, harus, dan wajib keaksaraan awal atau pra-keaksaraan. Selanjutnya, apa yang tidak boleh, yang tidak boleh  adalah keaksaraan konvensional. Dimana mengajar membaca yang memuat komponen reseptif yang meliputi ketepatan pengkodean, kelancaran pengkodean dan pemahaman bacaan. Karena anak dapat mengkodekan hal-hal/kosakata yang dapat dipahami, tetapi anak tidak dapat memahami hal-hal yang tidak dapat dikodekan. Jadi membaca itu melibatkan 2 hal. Pertama kemampuan pengkodean dan kedua kemampuan pemahaman.

Ingat, keaksaraan awal merupakan tatanan fondasi untuk mengusai kemampuan membaca dan menulis serta berhitung yang menyenangkan. Keadaan keaksaraan awal ini harus dikembangkan dengan baik di PAUD dan tidak dialihkan dengan penguasaan keaksaraan konvensional yang akan melelahkan anak dan menimbulkan pengalaman negatif terhadap membaca dan menulis. Semoga bermanfaat ***

*Dawami


0 Response to "Kebutuhan Aksara Awal Anak Didik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel