Alohong, CintaKu di Tanah Rupat (Sebuah Novel (2)



 "Bah, kail kita sangkut,"

"Besar macam ikannya," teriak Alohong kecil. Kesal, bercampur riang dan bearti di daerah sini banyak ikan. 

Kesal, karena ikan lepas dan riang karena daerah sini banyak ikan dan ado can banyak bawa ikan balek ke kualo dan sebagian dimasak mak buat makan malam.

"Coba, abah lihat kailnya," 

"Ya, nak. Putus," 

"Pasang lagi, mata kailnyo," perintah abahnya.

Alohong, kecil pun tak belenggah memasang kembali kail, dan umpan baru. Setelah itu, tali kalil kembali dilemparkannya ke laut.

"Bah, kail kail. Disembat ikan," 

"Sini, abang pegang kailnyo.'

"Beso. Ikan macam nak."

Sejenang itu, setelah ditarik dan diulur mata kailnya dengan mengikuti selera ikan maka kakap putih besar dapat dinaikan.diatas sampan.

"Hore, dapat ikan beso. Yee, bah."

"Senang, hati mak ye bah,"

Dah terbayang, air muka maknya saat mereka pulang. Banyak hasil tangkapan juga bukti tanda anak jantan.

"Bah, berarti Lohong dah jadi anak jantan yee," 

"Buktinye, setiap pergi mejaring samo abah. Banyak terus ikan. Tanjung apo namo tempat mancing nie, bah?," tanyanya kepada abah yang sedari tadi sibuk mengurus kail yang terus di makan ikan. Dan memang, banyak hasil tangkapan hari ini. Bisalah untuk makan seminggu.

"Apo. Nak?"

"Tanjung nie, tempat kito mancing apo namanyo. Lohong, suke tempat nielah. Bah!" Ungkapnya.

"Tanjung burung, tersebab banyak burung entang situ. Atau pada musim tertentu. Burung dari laut laut lepas singgah, entang situ," 

''Oh, gitu ye bah," 

Dalam hati kecilnya. Dia akan bawa kawan-kawan disitu sambil mengendap burung dari laut lepas. Bisa-bisa untuk dipelihara dan pastilah cantik-cantik.

"Pastilah, seru "

Terbayanglah, muka kawannya satu persatu. Mungkin, lagi main patok lele, gasing, layang-layang. Atau menjerat burung, mancing disepanjang suak di Selat Morong. Atau lagi mengangkat lukah yang dipasang petang kemarin.

Belum sempat, hayalannya terlalu jauh. "Ayo, kito balek. Angkat sauh. Macam, pokok hari sudah naik. Kejab lagi hujan. Sebelum hujan, kito dah sampai kualo Selat Morong.

Abah dan Alohong pun sibuk berkemas, sambil memasang layar. Sampannya, dengan kencang melaju ke muara selat morong. Apalagi, untung angin meniup dari tengah ke tepi. Sesampai saja di Kuala Selat Norong. Hujan lebat bercampur angin ribut sudah merubah ketenangan Selat Melaka. 

Menghandalkan kayuj dayung dan tiupan sisa angin dari Selat Melaka membuat mereka meninggalkan beberapa perkampungan yang ada disepanjang Muara Selat. Cinggam, Pangkalan Buah, Gonyeh, hingga petang menjelang malam sampailah Alohong dan abah di sebuah Jambatan dikampungnya.

 ***

(Kampus IAITF Dumai, pukul 14.00 WIB, 14/11/2022)

0 Response to "Alohong, CintaKu di Tanah Rupat (Sebuah Novel (2)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel