Sungai Bukit Batu: Antara Eksotis Komunikasi Masa Kecil dan Tatapan Keberkahan Negeri Bertabib
SUNGAI ini, memiliki kenangan eksostis dalam membangun peradaban besar dari dalam diri komunikasi masa lalu bagi kami setiap anak watan Bukit Batu. Tidak hanya tapak sejarah besar Datuk Laksamana Raja Dilaut, tapi juga tiap suak, jengkal tanah, buah nipah, berembang, sentol, senderas dan anak sungainya ada sebatian cerita tak bisa luput dari memori peradaban masa kecil kami.
Pergelaran Festival Sungai Bukit Batu mulai dari 18-20
Februari 2022 dengan prosesi sejumlah kegiatan adalah bagian dari rautan narasi
peradaban buat kelanjutan keberkahan dan kejayaan peradaban Negeri Bertabik
ini. Bak kata dalam kata-kata orang bijak, “Setiap orang ada masanya, setiap
masa ada orangnya”. Bahwa setiap orang memiliki waktu sukses yang berbeda-beda
untuk membentang karyanya.
Sebagaimana kata Bung Karno, beri aku 10 pemuda, niscaya
akan aku guncang dunia. Hal ini bukan hanya sekedar kata, tapi memiliki makna
yang dalam. Sebab Bung Karno percaya ditangan pemuda semua bisa dibuat dengan
semangat dan optimismenya. Hari ini, adik-adik kami terhimpun dalam Karang
Taruna Tribakti Desa Bukit Batu lagi mengukirnya dalam rautan melestarikan
nilai sejarah, seni budaya, membangkitkan UMKM tradisional Bukit Batu dan
beberapa perlombaan rakyat.
Menariknya, titik tapak kegiatan fokus di sungai yang
membelah Desa Bukit Batu dengan sebuah dusun. Oleh orang tua kami selalu
menyebut dengan kampung Datuk, itulah Kampung Teluk Belanga. Sebuah kampung
dari dulu hanya dijadikan tempat bercocok tanam padi, palawija dan disini juga
bersemayam abadi tempat Makam Datuk di Pangkalan Gajah. Dari Pangkalan Gajah
ini pula muncul dua makna berkomunikasi politik antara Bukit Batu dan Siak Sri
Indrapura yaitu Datuk Hilir Bergajah atau Datuk Menjunjung Titah/Duli.
Itulah sungai bernama Sungai Bukit Batu. Dimana memiliki
kedalaman sekitar 8-10 meter dengan membentang panjang dari muara Bukit Batu
Laut hingga menelusuri kawasan di Cagar Biosfer Giam Siak Bukit Batu, ada 12
tasik atau danau luasnya puluhan hektar luar biasa indahnya. Apalagi kalau
musim penghujan tiba maka Cagar Biosfer ini bisa mencapai 30 Ha luasnya dengan
air hitam menjadi air khas daerah rawa gambut
menjadi destinasi wisata eksotis dan unik di Provinsi Riau.
Banyak cerita menyertainya dari kami kecil, tumbuh dewasa
dan hingga hari ini sudah menjadi orang tua dari anak-anak sebagai tempat
penyambung cerita. Bagaimana cerita sungai ini terjadi, antara hilir menjadi
hulu karena sumpahan orang alim bernama Maling Dewa. Cerita tali air di muara
Sungai Bukit Batu yang kalau melewatinya banyak pantang larang yang harus kami
jaga. Di depan muara sungai ini juga ada sebuah sungai bernama Sungai Wan
menjadi tempat dititik tumpu dari tapak memberi makan dulunya harimau penjaga
kampung bernama Tengkes, Kumbang dan lain-lainnya yang hanya bisa diberi makan
oleh keluarga Atah Musip dan itulah sebuah amanah. Kemudian saat masih
kecil-kecil dulu, ada juga Ratib Beranyut yang berisi zikir sambil mengelilingi
kampung saling sambut menyambut dan berakhir di tali arus di Tanjung Jati
sebagai upaya pengusir bermacam penyakit dan gangguan di kampung kami.
Bagi kami, Sungai Bukit Batu adalah urat peradaban kami.
Kalau pun hari ini, hanya dilewati kapal ponton pengangkut kayu akasia. Itu
tersebab Jalan Lintas Dumai-Pakning sudah bisa dilalui dengan kondisi baik. Dan
kapal RoRo Sei Selari, Kecamatan Bukit Batu-Pulau Bengkalis beroperasi dengan
lancar.
Betullah apa yang dikatakan ilmuan, filosuf, sosiolog Islam,
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dimana mengartikan sejarah dikitabnya Muqaddimah
sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia. Sejarah
terbangun dari dua sisi, sisi luar (material, lahiriah) dan sisi dalam (sisi
batiniah, filosofinya) dan dia termasuk sejarawan mensyaratkan tinjauan
peristiwa, analisis, pola-pola dan sebab-akibatnya sebagai syarat ilmu dan
penulisan sejarah.
Ibnu Khaldun mempercayai bahwa filsafat moral adalah bukan
hanya sekedar unsur belaka, tetapi juga dianggap “ruh” sejarah. Tersebab,
sejarah bagi Ibnu Khaldun merupakan pelayan filsafat politik. Hanya sejarah
yang mampu mengajar manusia sebagai pelaku, tentang bagaimana orang lain
bertindak dalam keadaan-keadaan khusus, pilihan-pilihan yang dibuatnya dan
tentang keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan manusia.
Apalagi sungai adalah rahim dari tata nilai, adat istiadat,
kearifan, sistem konservasi masyarakat. Dan kalaulah kita membuka lagi
buku-buku sejarah, dengan mudah kita memahami peradaban manusia dimulai dari
daerah-daerah sungai. Sekitar 6.000-8.000 tahun lampau, di mana orang sudah
mengenal manfaat sungai dan air, mereka menetap di kawasan itu untuk bercocok
tanam dan memelihara ternak. Akhirnya, dari daerah itu tumbuh peradaban. Sumber
peradaban Mesir adalah sungai Nil. Demikian pula, dengan sungai Mesopotamia di
Sumeria, sungai Eufrat di Inggris dan sungai Indus di Pakistan-India. Sungai
Kuning di Tiongkok pada 3.000 tahun lampau juga tumbuh kerajaan kekaisaran
dengan peradaban tinggi.
Dari sungai ini juga, ada cerita yang membenak dalam ingatan
memori kami generasi 70an, 80an dan sebagian 90an. Bagi saya generasi 70an maka
saya masih jumpa balak-balak disusun menjadi jembatan, kemudian akan oleng
kalau air pasang naik dan ada diantara kayu penyambungnya patah maka kami kuyup
kecebur ke air untuk bisa sampai ke Bukit Batu Laut. Kemudian berganti dengan
jembatan dengan papan satu keping,
jembatan full papan dan hingga hari ini jembatan sudah berubah seratus
persen menjadi batu coran hingga bisa dilewati mobil sampai keujung jembatan
atau meriam di Muara Laut atau Bukitbatu Laut.
Kami juga punya cerita dari Sungai Bukit Batu mengenal kapal
motor kayu sebagai alat transportasi utama untuk bisa sampai ke Pulau
Bengkalis. Dari kapal motor Atu, berganti kapal Diong, kapal motor Sir berganti
anaknya Nazir hingga kapal motor Saleh Badar. Dan belum lagi kapal-kapal motor
kayu berukuran kecil milik warga yang siap melayani carteran atau lainnya.
Biasanya, kami sebelum pukul 07.00 WIB sudah berbondong-bondong menunggu di
Pelabuhan Bukitbatu Laut, Pelabuhan Atu atau Diong atau Ali Badang atau Pelabuhan
Sir dengan ujung perjalanan akhir kapal penumpang di Pelabuhan Temiang. Lewat
dari pukul 07.00 WIB waktu biasanya, alamat tak jadilah berangkat ke Bengkalis
maka ditunda esok hari. Kadang kami harus terombang ambing dalam mainan
gelombang untuk bisa sampai di pelabuhan ikan atau pelabuhan camat di Pulau Bengkalis.
Pesona alam bahari sebagai anak pelaut dan penakluk
gelombang air pasang sudah menjadi mainan. Gumulan percikan air laut yang asin
dan air payau dari Sungai Bukit Batu tempat berendam berjam-jam sudah barang
sebatian tiap harinya.
Apalagi hari ini, saya dan sore ini berada diujung muara
Sungai Bukit Batu, Dusun Muara Laut atau Bukit Batu Laut adalah menjadi sisa
dari menunjukan bahwa kami juga adalah anak pelaut sejati. Proses waktulah yang
membuat kami juga petah untuk bermain dan terus menyatu dengan segala kerenah
dunia dalam kehidupan darat. Tapi yang pasti, siulan penyambut angin dan siulan
peredam gelombang adalah sedikit naluri secara turun temurun terwariskan.
Muara laut Bukit Batu tidaklah seperti dulu lagi. Hari ini, sudah tertata dengan baik dengan
pembenahan fasilitas jalan dan jembatan
penghubung yang boleh dikatakan luar biasa baik. Malah tak pernah membayangkan
mobil bisa masuk. Tapi hari ini, mobilKU bisa dan ikut berfose diujung
jambatan. Atau orang kami bilang, jembatan dekat meriam. Alasannya, tidak lain karena merupakan meriam
peninggalan zaman kemerdekaan bahwa ditapak tanah bertabit ini datuk-datuk kami
pernah berjuang mempertahankan merah putih. Apalagi kawasan muara laut Bukit Batu
berada pada pintu gerbang masuk Selat Bengkalis dan Sungai Siak. Dulu zaman
Datuk Kelaksamanan Raja Dilaut dikenal dengan armada perang kapal berjalan. Dan,
tidaklah salah kalau ada semat sebagai pahlawan nasional kepada datuk kami.
Kampung-kampung kami
sepanjang Sungai Bukit Batu masih banyak ruang untuk digali dan diteliti secara
akademik dan ilmiah. Tidak hanya dari sisi sejarah kebesaran Datuk Laksamana
Raja Dilaut. Tapi ada hutan mangrove bisa dijadikan sebagai laboratorium magrove
dunia menjulur sepanjang pantai bibir Sungai Bukit Batu dan Selat Bengkalis. Belum
lagi di Desa Temiang juga ditemui bekas susunan batu bata purbakala yang
membentuk candi masih diteliti secara arkeologi. Menariknya, lagi kalau mau
lebih teliti melihat demografi maka Dusun Teluk Belanga berada di Pulau
Sumatera, tapi bagaimana pula dengan Desa Bukit Batu, Desa Sukajadi, Desa Buruk
Bakul, hingga ke beberapa Desa di Kecamatan Siak Kecil. Dan bisa dikatakan
sebuah pulau delta dari endapan lumpur ribuah tahun yang lalu. Sebab semakin
kita ke hutan di Desa Bukit Batu dan sekitarnya maka yang akan ditemui adalah
tumbuh-tumbuhan pantai yang hari ini kita kenal dengan sebutan kawasan Giam
Siak Kecil Bukit Batu.
Penulis: Dawami S.Sos M.I.Kom, Dosen IAITF Dumai, Pegiat Lingkar Literasi, Jurnalis Senior Wartawan Utam
0 Response to "Sungai Bukit Batu: Antara Eksotis Komunikasi Masa Kecil dan Tatapan Keberkahan Negeri Bertabib"
Posting Komentar