Filosofi Komunikasi Kedai Kopi

 




DALAM sebuah buku fiksi karya Dewi Lestari yang akrab dipanggil Dee berjudul “Filosofi Kopi”. Dee menghidangkan tulisan-tulisannya tentang bagaimana memaknai kopi dari sisi kehidupan. Tentu sebagai penulis best seller dari buku karya lainnya seperti supernova, rectoverso dan perahu kertas saya suka membaca dan tak pernah melewatkan karya-karyanya.

Yang jelas, tak ada yang tak faham dengan filosofi dalam berkomunikaai di kedai kopi. Bagaimana urusan serumit apa pun begitu menghirup segelas kopi, sebatang rokok atau sepotong kue mueh mampu menjawab dan menemukan titik simpulnya sehingga komunikasi model kedai kopi adalah menjadi jalan keluar dari kebuntuan berkomunikasi dengan sesama dalam menjalain persaudaraan dan mendoakan orang selalu sehat.

Pythagoras mungkin tidak pernah menikmati kopi, Socrates juga tidak pernah menyeruput macchiato., Aristoteles apalagi mungkin selalu memikirkan hal-hal luar biasa, tetapi matanya tak merah karena kurang tidur. Tapi Anne Conway, filosof Inggris abad 17an, mungkin sudah akrab dengan kopi, tapi mungkin bukan pengopi berat. Kenapa? Sebab selama masa hidupnya kopi masih diresepkan oleh apoteker Inggris sebagai obat sakit kepala.

Tapi beruntunglah Denis Diderot, filsuf Perancis sedang mengedit tulisan, Voltaire sedang menghirup kopi. Filsuf Perancis, yang sering mengunjungi Le Procope sebuah rumah kopi Paris yang terkenal itu mengonsumsi lima puluh cangkir kopi per hari. Hegel juga memiliki kesukaan minum kopi, Presiden AS Abraham Lincoln pernah mengatakan kepada seorang pelayan di Rumah Presiden bahwasanya, “Jika ini adalah kopi, tolong bawakan saya teh; tetapi jika ini teh, tolong bawakan saya kopi.”

Ilmuwan Abu Ali al-Hussain Ibnu Abdallah Ibn Sina, lahir 980 SM di dekat Bukhara (sekarang Uzbekistan) dan dikenal di Barat dengan sebutan Ibnu Sina pernah menulis tentang kopi dan kualitasnya yang luar biasa dan menjadi bukti orang-orang tanah Mediterania kuno faham dengan kopi.

Komunikaai memang urusan interaksi sosial dan urusan memahami, mengelola, mendidik, mempengaruhi dan mengajak orang lain. Dalam urusan tujuan ini maka komunikasi adalah sebagai penjabaran dari bagaimana kita memaknai penerapan prinsip-prinsip komunikaai sebagai pengakuan kita sebagai mahluk sosial.

Disisi lain ada banyak urusan, banyak masalah, banyak solusi dari kemaslahan, interaksi sosial , urusan negara bisa diselesaikan disuatu tempat banyak orang menghabiskan waktu dengan cukup segelas kopi,. Mulai dari hal sederhana, remeh temeh, serius hingga urusan politik, ekonomi dan mengatur negara.

Kedai kopi yang jelas adalah menjadi tempat mampu mengkomunikasi hal rumit menjadi jalan menemukan titik solusinya. Apakah kehadirannya baru hari ini, tidak, tapi sudah menjadi turun temurun. Maka jangan aneh, kalau ada fameo menyebutkan bahwa jantan itu tandanya ngopi, ngopi itu di kedai kopi. Kenudian trandnya lagi, tak ngopi maka tak gaul dan tak ngopi tak gaya. Itulah nama tempatnya kedai kopi.

Malah bagi sebagian orang maka ngopi adalah bagian dari hidupnya dan harus dijalani secara rutin. Sebab dalam filosofi terpenting dari ngopi adalah terbangunnya persaudaraan dan jalinan interaksi sosial yang kuat. Sehingga yang muncul adalah aura nilai dari berpikir positif untuk selalu bersama, minum bersama. Sebab dalam filosofi ngopi, kebersamaan saat ngopi maka disitulah nikmatnya menghirup panasnya maka hilangnya rasa pahit kopi. Dari pahitnya rasa kopi inilah melahirkan jalinan interaksi sosial kehidupan dalam bingkai komunikasi sesama dan tidak ada yang rumit hidup ini di kedai kopi. ***

*kopitiam/kampusiaitf/bsm/blokL17/20.00wib/13/1/2022

*Dawami S.Sos M.I.Kom, Dosen IAITF Dumai, Ketua LPM IAITF Dumai, Pegiat Lingkar/Pojok Literasi, Jurnalis Senior Wartawan Utama.


0 Response to "Filosofi Komunikasi Kedai Kopi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel