Sumatera dalam Perspektif Bencana Purba: Jejak Geologi, Ingatan Kolektif dan Peradaban

 



KEBESARAN dan rahasia alam semesta hanya milik Allah SWT, kita hanya disuruh menjaga keseimbangannya dan tidak merusak. Itulah yang juga dijelaskan dalam Teori Alamtologi dengan menjaga keseimbangan adalah menjadi jawaban dari rahasia itu. Minggu-minggu ini, ujian berat itu diturunkan di kawasan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memperlihatkan bagaimana alam menyimpan memori yang tak pernah benar-benar padam. Gempa bumi yang terus berulang di zona megathrust Aceh-Andaman, letusan Gunung Sinabung dan aktivitas vulkanik Marapi, hingga banjir bandang dan longsor di dataran tinggi Minangkabau, seakan menjadi gema dari riwayat geologi purba yang diwariskan bumi Sumatera kepada generasi hari ini. Setiap bencana bukan hanya mengguncang tubuh bumi, tetapi juga menggugah kesadaran manusia untuk kembali membaca tanda-tanda alam dan merenungi bagaimana peradaban harus berdiri seimbang antara keberanian, kebijaksanaan, dan penghormatan terhadap lingkungan. Fenomena kekinian ini mengingatkan bahwa Sumatera bukan sekadar wilayah geografis, melainkan ruang ekologi yang hidup yang bernafas, bergerak, dan mencatat segala interaksi manusia dan bumi. Kesadaran ini penting agar masyarakat tidak hanya menjadi saksi penderitaan akibat bencana, tetapi juga menjadi penjaga harmoni alam, pembelajar dari sejarah geologi, dan pewaris kearifan ekologi untuk generasi mendatang.

Pulau Sumatera merupakan wilayah yang terbentuk dari dinamika geologi purba yang sangat kompleks, sehingga meninggalkan jejak bencana berulang yang membentuk peradaban manusia sejak masa paling awal. Sebagai bagian dari busur Sunda, Sumatera berdiri di atas zona subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta dipotong oleh Sesar Besar Sumatera. Kombinasi tektonik ini melahirkan rangkaian bencana purba seperti letusan gunung api besar, gempa megathrust, tsunami raksasa, dan banjir purba yang mengubah bentang alam serta mempengaruhi peta pemukiman manusia. Penelitian geologi menunjukkan bahwa pulau ini mengalami berbagai peristiwa katastropik sejak jutaan tahun lalu, dengan puncak catatan paling dramatis berupa Supererupsi Toba sekitar 74.000 tahun silam (Rose & Chesner, 1990), yang tidak hanya mengguncang Sumatera tetapi turut mengubah iklim global untuk waktu yang panjang.

Supererupsi Toba menghasilkan guguran awan panas dan banjir vulkanik raksasa yang menyelimuti sebagian besar Sumatera bagian utara, termasuk kawasan yang kini menjadi Aceh, Sumatera Utara, dan sebagian Riau. Letusan tersebut mengakibatkan terbentuknya kaldera raksasa yang kini menjadi Danau Toba, serta memaksa populasi manusia purba bermigrasi dari dataran tinggi ke lembah sungai dan pesisir Selat Malaka (Oppenheimer, 2003). Dampak ekologisnya berpadu dengan perubahan iklim ekstrem yang menyebabkan penurunan temperatur global selama ratusan tahun, sehingga memengaruhi pola hunian, jalur migrasi, dan perkembangan teknologi adaptasi. Catatan arkeologis memperlihatkan bahwa populasi manusia purba yang berhasil bertahan kemudian mengembangkan strategi hidup baru, termasuk adaptasi terhadap banjir, perubahan tutupan hutan, dan penyempurnaan alat batu di kawasan pantai timur Sumatera.

Selain letusan vulkanik purba, Sumatera juga menyimpan jejak penting banjir besar dan tsunami prasejarah yang tercatat dalam lapisan sedimen dan memori kolektif masyarakat. Penelitian paleotsunami di Aceh dan pantai barat Sumatera menemukan endapan pasir laut, kerikil, dan fragmen organisme pesisir yang berada jauh hingga beberapa kilometer ke dalam daratan, menandakan adanya gelombang purba berukuran raksasa yang menghantam pesisir Sumatera dalam rentang 500 hingga 2.000 tahun yang lalu (Monecke et al., 2008; Sieh et al., 2015). Bencana-bencana ini muncul akibat aktivitas megathrust Sumatra-Andaman, yang secara berkala melepaskan energi besar sehingga mengguncang wilayah sepanjang pantai barat, menciptakan tsunami yang menghancurkan pemukiman dan memaksa masyarakat memindahkan pusat kehidupan ke daerah yang lebih tinggi. Banyak situs peradaban maritim awal, termasuk pelabuhan kuno Lamuri di Aceh, diduga hilang akibat bencana berulang ini.

Ingatan tentang bencana purba juga terekam dalam tradisi lisan berbagai kelompok etnik di Sumatera. Salah satu fenomena paling terkenal adalah tradisi "Smong" dari masyarakat Simeulue, yang menceritakan kisah air laut yang tiba-tiba surut lalu kembali dalam gelombang besar yang menenggelamkan kampung-kampung lama. Tradisi ini dipandang sebagai rekaman sejarah tentang tsunami purba berulang di wilayah tersebut, memungkinkan masyarakat bertahan pada bencana 2004 karena mereka mengenali tanda-tanda bahaya berdasarkan ingatan nenek moyang. Selain itu, naskah kuno "Hikayat Aceh" dan "Hikayat Raja-Raja Pasai" memuat kisah-kisah tentang hilangnya negeri karena “gelombang besar”, “air laut yang marah”, dan “bumi bergetar”, yang oleh sebagian sarjana ditafsirkan sebagai refleksi sejarah bencana purba yang dialami masyarakat Sumatera awal (Lombard, 1999). Karya-karya ini menggabungkan unsur kosmologi, keagamaan, dan sejarah alam, memperlihatkan bagaimana narasi bencana turut membentuk identitas spiritual dan politik masyarakat pesisir.

Jejak banjir purba juga tampak pada pola peradaban sungai besar di Sumatera bagian tengah dan selatan, seperti peradaban Batanghari, Kampar, Siak, dan Musi. Arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat Melayu kuno membangun permukiman berpola kanal, rumah panggung, dan kota air seperti di Muara Jambi untuk menyesuaikan diri terhadap fluktuasi muka air sungai dan banjir musiman ekstrem. Adaptasi ekologis ini memperkuat kekuatan ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan Melayu, menjadikan Sumatera sebagai simpul perdagangan antara India, Cina, dan Jazirah Arab sejak abad pertama Masehi (Wolters, 1967). Perubahan garis pantai dan sedimentasi akibat banjir purba menciptakan pelabuhan-pelabuhan baru, sementara pelabuhan lama tenggelam atau tertutup lumpur, menyebabkan pusat peradaban Melayu selalu bergerak dinamis mengikuti perubahan lingkungan.

Dalam jangka panjang, bencana purba yang berulang bukan hanya menjadi ancaman, tetapi justru menciptakan faktor pembentuk peradaban Aceh dan Sumatera. Kerajaan-kerajaan besar seperti Lamuri, Perlak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam berkembang di lokasi-lokasi yang secara ekologis adaptif terhadap perubahan geologi. Ketahanan sosial terhadap bencana menjadikan masyarakat Aceh dan Sumatera mampu mengembangkan jaringan perdagangan internasional yang kuat, menerima kedatangan pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan Cina, serta menjadi pintu masuk Islam pertama di Nusantara. Dengan demikian, sejarah Sumatera tidak dapat dipisahkan dari dinamika bencana purba yang membentuk migrasi manusia, struktur sosial, sistem kepercayaan, hingga perkembangan kerajaan dan jalur perdagangan.

Keseluruhan bukti geologi, arkeologi, dan tradisi lisan menegaskan bahwa Sumatera merupakan salah satu wilayah dunia dengan rekaman bencana purba paling kaya dan signifikan. Bencana-bencana tersebut bukan hanya meninggalkan kehancuran, tetapi juga membentuk pola adaptasi manusia dan perkembangan peradaban yang terus berlangsung hingga hari ini. Dalam konteks kajian sejarah dan antropologi, Sumatera layak dipandang sebagai laboratorium alam yang memperlihatkan hubungan erat antara manusia dan lingkungan ekstrem. Kesadaran ini penting tidak hanya untuk memahami masa lalu, tetapi juga untuk merumuskan strategi mitigasi bencana dan pembangunan berkelanjutan bagi generasi mendatang. ***

*Penulis: Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior dan Pengiat Lingkar Pojok Literasi

 

Daftar Pustaka

Lombard, D. (1999). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Monecke, K., Finger, W., Klarer, D., Kongko, W., McAdoo, B., Moore, A. L., & Sudrajat, S. (2008). A 1,000-year sediment record of tsunami recurrence in northern Sumatra. Nature, 455(7217), 1232–1234.

Oppenheimer, S. (2003). Out of Eden: The Peopling of the World. London: Constable & Robinson.

Rose, W. I., & Chesner, C. A. (1990). Worldwide dispersal of ash and gases from Earth’s largest known eruption: Toba, Sumatra. EOS, 71(28), 743–750.

Sieh, K. et al. (2015). Geological evidence for recurrent megathrust earthquakes off the coast of Aceh. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(37), 11720–11725.

Wolters, O. W. (1967). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Śrīvijaya. Ithaca: Cornell University Press.

 

0 Response to "Sumatera dalam Perspektif Bencana Purba: Jejak Geologi, Ingatan Kolektif dan Peradaban"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel