Adab dalam Lintasan Peradaban: Dari Ulama Klasik hingga Cendekiawan Kontemporer

 


PERADABAN Islam berdiri bukan hanya di atas kemajuan ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan politik, tetapi juga pada fondasi nilai luhur yang disebut adab. Sejak masa awal Islam, adab dipahami sebagai tatanan perilaku yang memadukan etika, akhlak, dan akal budi. Para ulama menganggap adab sebagai prasyarat bagi lahirnya masyarakat yang damai, berilmu, dan bermartabat. Karena itulah, hampir seluruh karya besar dalam tradisi keilmuan Islam—dari hadits, fikih, tasawuf, hingga filsafat—mendedikasikan ruang khusus bagi pembahasan adab. Pergeseran zaman dan tantangan global membuat kajian adab menjadi semakin penting, terutama dalam konteks sosial, akademik, dan digital yang terus berubah.

Urgensi menelaah kembali konsep adab pada era kontemporer muncul dari gejala degradasi moral yang kini tampak dalam berbagai aspek kehidupan. Krisis kepercayaan sosial, polarisasi politik, penyalahgunaan media digital, hingga melemahnya etika ilmiah di ruang akademik menunjukkan bahwa adab bukan sekadar konsep klasik, melainkan kebutuhan yang bersifat mendesak. Dalam sejarahnya, berbagai peradaban tumbuh dan runtuh karena hilangnya adab. Hal tersebut ditegaskan oleh ulama seperti Al-Attas yang menyebut loss of adab sebagai akar dari kerusakan ilmu dan masyarakat. Dengan demikian, memahami kembali perkembangan pemikiran tentang adab menjadi relevan untuk merumuskan etika publik yang mampu menjawab tantangan zaman.

Buku ini disusun untuk menganalisis secara historis dan tematik konsep adab yang berkembang dari era ulama klasik hingga cendekiawan modern. Tujuan utamanya adalah memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana adab dipahami, ditafsirkan, dan diajarkan oleh tokoh-tokoh Islam sepanjang zaman. Selain itu, buku ini bertujuan menunjukkan relevansi konsep adab tersebut dengan kebutuhan masyarakat kontemporer—baik dalam pendidikan, komunikasi, kepemimpinan, maupun kehidupan sosial. Dengan cara ini, pembaca diharapkan mampu melihat kesinambungan pemikiran etis dalam Islam serta memahami posisi adab sebagai basis peradaban yang berkelanjutan.

Kajian ini juga berangkat dari permasalahan bagaimana adab dipraktikkan di berbagai era dan disiplin ilmu. Para ulama berbeda pandangan terkait metodologi, perspektif, dan fokus pembahasan adab. Misalnya, Al-Ghazali menitikberatkan pada dimensi spiritual dan tazkiyah; Ibnu Khaldun pada aspek sosial dan politik; Al-Farabi pada etika publik dan filsafat negara; sementara pemikir kontemporer seperti Syafi‘i Ma’arif dan Azyumardi Azra menekankan dimensi kemanusiaan dan moderasi. Keragaman ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana adab menjembatani tradisi klasik dan modern serta bagaimana konsep ini dapat diterapkan dalam masyarakat multikultural masa kini.

Untuk menjawab persoalan tersebut, kajian ini menggunakan kerangka teoritis yang memadukan empat konsep utama: adab, akhlak, etika, dan moral. Adab dipahami sebagai disiplin perilaku yang selaras dengan ilmu dan kesadaran spiritual. Akhlak merujuk pada sifat batin yang melahirkan tindakan etis. Etika dipandang sebagai refleksi rasional terhadap baik dan buruk, sedangkan moral merupakan norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat. Empat konsep ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam memahami dinamika adab. Dengan pendekatan interdisipliner, pembahasan dalam buku ini mencoba menghadirkan analisis yang mendalam dan kontekstual.

Metode penulisan yang digunakan bersifat kualitatif-deskriptif dengan penekanan pada kajian literatur. Sumber-sumber primer berupa karya klasik seperti Ihya’ Ulumuddin, Muqaddimah, Tahdzib al-Akhlak, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim dikaji berdampingan dengan literatur modern dari tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Seyyed Hossein Nasr. Pendekatan historis-intelektual digunakan untuk melihat perkembangan gagasan dari masa ke masa, sementara analisis tematik membantu menyusun pola umum pemikiran tentang adab.

Pembahasan dalam buku ini dibagi ke dalam lima bab utama sesuai periodisasi sejarah pemikiran Islam. Bab II mengkaji tokoh-tokoh klasik abad keemasan, termasuk Al-Farabi, Ibn Miskawayh, Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, Al-Ghazali, dan Imam Nawawi. Bab III membahas tokoh pertengahan seperti Ibnu Khaldun, Asy-Syatibi, dan Rumi. Bab IV memasuki era pra-modern dengan fokus pada pemikiran Iqbal dan relevansi etika Kant. Bab V menguraikan tokoh modern dan kontemporer global seperti Syariati, Fazlur Rahman, Nasr, Chapra, hingga para ulama digital. Bab VI menyoroti kontribusi tokoh Indonesia seperti Hamka, Syafii Maarif, Nurcholish Madjid, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Quraish Shihab, Komaruddin Hidayat, Kuntowijoyo, dan Azyumardi Azra.

Dengan struktur tersebut, buku ini tidak hanya menyajikan perkembangan pemikiran adab secara kronologis, tetapi juga menyusun dialog intelektual antara klasik dan modern. Dengan menghubungkan gagasan para ulama dan cendekiawan lintas zaman, pembahasan ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang peran adab dalam membangun masyarakat berkeadaban. Pembaca diharapkan dapat menangkap pesan utama bahwa adab bukan sekadar tata krama atau sopan santun, tetapi fondasi epistemologis, spiritual, sosial, dan peradaban.

Kajian mendalam terhadap literatur adab seperti ini diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat Indonesia. Di tengah kompleksitas sosial yang sering diperparah oleh polarisasi, hoaks, dan ketegangan identitas, nilai-nilai adab dapat menjadi pilar moderasi dan kohesi sosial. Untuk itu, penting bagi akademisi, pendidik, dan praktisi sosial untuk menjadikan adab sebagai orientasi etis dalam setiap tindakan. Buku ini berupaya menyediakan kerangka yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, riset, maupun pendidikan karakter di lingkungan akademik dan masyarakat.

Dengan demikian, kajian adab lintas zaman tidak hanya bersifat historis, tetapi juga visioner. Ia membantu kita memahami asal usul, perkembangan, dan tantangan etika dalam Islam, sekaligus menawarkan arah baru bagi pembentukan manusia dan masyarakat yang beradab. Pemahaman yang komprehensif tentang adab diharapkan mampu memulihkan martabat ilmu, memperkokoh integritas sosial, dan meneguhkan kembali posisi Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta. Buku ini adalah upaya kecil untuk melanjutkan tradisi panjang tersebut dan menegaskan kembali bahwa masa depan peradaban tidak dapat dibangun tanpa adab.***


Profil Penulis

Dawami lahir pada 15 Oktober 1975 di Bukit Batu, sebuah kampung pesisir yang tenang di tepian Selat Bengkalis. Dari ibunya, Rubiah, dan ayahnya, Busri, ia belajar tentang keteguhan hati, kesederhanaan, dan arti bekerja dengan penuh keikhlasan. Perjalanan pendidikannya membawanya ke Universitas Riau, tempat ia menamatkan studi S1 dan S2 pada jurusan Ilmu Komunikasi, sebuah bidang yang membuka cakrawala berpikirnya tentang manusia, pesan, dan peradaban. Saat ini ia melanjutkan langkah akademiknya pada jenjang doktoral di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau pada Program Studi Pendidikan Agama Islam. Di balik seluruh proses panjang itu, Dawami memegang satu prinsip hidup yang selalu ia jaga: menghadirkan kebahagiaan bagi orang-orang yang ia cintai dan memberikan nilai manfaat bagi sesama. Bagi Dawami, ilmu dan hidup adalah perjalanan untuk terus tumbuh, memberi, dan menebarkan kebaikan.







0 Response to "Adab dalam Lintasan Peradaban: Dari Ulama Klasik hingga Cendekiawan Kontemporer"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel