Abu Hanifah: Rasionalitas Fiqh dan Validitas Rantai Riwayat

        Abu Hanifah al-Nu‘man ibn Thabit (699–767 M) merupakan figur sentral dalam pembentukan tradisi keilmuan Kufah, sebuah kawasan yang dikenal sebagai pusat interaksi intelektual, sosial, dan politik pada awal Islam. Lingkungan Kufah mempertemukan para sahabat, tabi‘in, ahli fikih, ahli hadis, dan kelompok berpikir rasional yang kuat. Kondisi ini melahirkan corak keilmuan yang dinamis, kritis, dan kaya perdebatan metodologis (Makdisi, 1981). Dalam ruang inilah Abu Hanifah berinteraksi dengan berbagai guru—di antaranya Hammad ibn Abi Sulayman—yang mewariskan kepadanya jaringan transmisi ilmu berbasis diskusi hukum dan analisis rasional.

        Konteks Kufah yang sarat pergumulan sosial memengaruhi cara Abu Hanifah melihat hadis dan sanad. Ia hidup pada masa ketika peredaran hadis lemah dan riwayat politik-propagandis cukup marak. Karena itu, sikap kehati-hatian menjadi prinsip metodologis utama. Abu Hanifah tidak menolak hadis, tetapi ia menetapkan standar ketat menyangkut keabsahan sanad dan reliabilitas periwayat (al-Khatib al-Baghdadi, 2002). Baginya, hadis harus berdiri di atas kredibilitas transmisi sekaligus kesesuaian dengan prinsip dasar syariat.

        Sikap kritis Abu Hanifah terhadap hadis dengan sanad lemah tercermin dari kecenderungannya hanya menerima riwayat yang memenuhi syarat kuat, muttasil, dan bebas dari indikasi kontradiksi. Bila sebuah hadis dinilai lemah atau diriwayatkan oleh periwayat yang dipertanyakan integritasnya, ia memilih untuk tidak menjadikannya dasar hukum. Langkah tersebut bukan bentuk penolakan sunnah, tetapi bagian dari etika epistemologis untuk memastikan kesahihan hukum yang dibangun (Brown, 2009).

        Keberhati-hatian itu menjelaskan mengapa Abu Hanifah mengutamakan qiyas dalam banyak kasus hukum. Qiyas baginya adalah instrumen rasional yang berfungsi menghubungkan prinsip-prinsip umum syariat dengan realitas empiris umat. Penggunaan qiyas bukan sekadar pilihan metodologis, melainkan respon epistemologis terhadap kondisi di mana riwayat tidak selalu tersedia atau tidak selalu kuat. Dengan demikian, konsep sanad tidak ditinggalkan, tetapi diposisikan dalam hierarki yang menjamin koherensi antara teks, rasio, dan tujuan hukum (Hallaq, 1997).

        Dominasi qiyas dalam fikih Hanafiyah sering menjadi polemik di kalangan ulama hadis, terutama dari lingkungan Hijaz yang lebih tekstual. Kritik terutama diarahkan pada tuduhan bahwa Abu Hanifah terlalu mengandalkan rasio dan mengurangi otoritas hadis. Namun para pembela mazhab Hanafi menegaskan bahwa kritik tersebut lahir dari perbedaan tradisi intelektual, bukan dari penyimpangan metodologis. Dalam banyak kasus, Abu Hanifah justru memilih hadis sahih daripada qiyas ketika kualitas sanad memenuhi syarat ketat yang ia tetapkan (al-Sarakhsi, 1993).

        Perdebatan tersebut memunculkan dikotomi metodologis antara ahl al-ra’y (kelompok rasional Kufah) dan ahl al-hadith (kelompok tekstual Madinah). Namun pembacaan lebih teliti menunjukkan bahwa Abu Hanifah tidak menempatkan akal di atas wahyu; ia menggunakan akal sebagai instrumen untuk memahami teks ketika sanad tidak memadai atau ketika realitas hukum membutuhkan penalaran lanjutan (Calder, 1993). Dengan demikian, posisi qiyas bukan pengganti sunnah, tetapi mekanisme menjaga relevansi hukum.

        Pembelaan terhadap metodologi Abu Hanifah juga datang dari para ulama hadis sendiri. Ibn al-Mubarak, salah satu tokoh besar hadis, pernah menegaskan bahwa kritik terhadap Abu Hanifah sering kali berasal dari ketidaktahuan terhadap argumentasi beliau. Begitu pula Yahya ibn Ma‘in menyatakan bahwa sebagian tuduhan terhadap Abu Hanifah tidak berdasar dan harus ditempatkan dalam konteks kompetisi keilmuan abad kedua hijriah yang memang sangat intens (al-Dhahabi, 2001).

        Kontribusi intelektual Abu Hanifah dalam perdebatan antara sanad dan nalar terlihat dari keberhasilannya membangun kerangka fikih yang tetap menghormati transmisi hadis, namun tidak menutup ruang bagi rasionalitas. Ia mengajukan pendekatan keilmuan yang menempatkan sanad sebagai fondasi, dan nalar sebagai alat penghubung untuk merumuskan hukum secara fungsional. Dengan cara ini, fikih tidak sekadar mengulang teks, tetapi menghidupkannya dalam konteks sosial yang berubah.

        Model interpretasi Abu Hanifah memberikan dampak besar terhadap tradisi hukum Islam. Mazhab Hanafi menjadi mazhab terbesar di dunia Islam, terutama karena fleksibilitas metodologinya yang mampu merespon kebutuhan masyarakat dari berbagai kawasan—dari Irak hingga Asia Tengah. Di sinilah terlihat bahwa interaksi antara sanad dan nalar dalam pemikiran Abu Hanifah tidak melahirkan dikotomi, tetapi integrasi epistemologis yang produktif.

        Pada akhirnya, warisan Abu Hanifah memperlihatkan bahwa validitas sanad dan rasionalitas qiyas bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya dapat bertemu dalam kerangka keilmuan yang menempatkan kehati-hatian, analisis, dan tujuan syariat sebagai pedoman utama. Pemikiran beliau menjadi jejak penting dalam tradisi intelektual Islam, sekaligus menjadi pijakan bagi perdebatan kontemporer tentang hubungan antara teks, akal, dan dinamika sosial umat. ***


Profil Penulis

Dawami lahir di sebuah kampung kecil di tepi Selat Bengkalis, dalam denyut budaya Melayu Pesisir yang hangat dan kuat memelihara tradisi. Dari lingkungan yang sederhana namun kaya nilai itulah tumbuh kecintaan pada ilmu dan komunikasi. Ia menempuh pendidikan S1 dan S2 pada kampus yang sama, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Komunikasi—ruang yang membentuk ketajaman analisisnya serta kepekaan pada persoalan manusia dan masyarakat. Kini, ia melanjutkan perjalanan intelektual pada jenjang doktoral di Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, memperdalam kajian tentang ilmu, budaya, dan kemanusiaan. Dalam kehidupan pribadi, Dawami memegang satu prinsip yang diwarisi dari keluarganya: hidup harus membuat orang lain lebih bahagia. Baginya, ilmu tidak sekadar dicari, tetapi harus memberi manfaat. Setiap langkah yang dijalani ia niatkan sebagai amal, sebagai cara kecil untuk menghadirkan kebaikan bagi orang-orang yang dicintai dan bagi siapa pun yang dijumpainya.


0 Response to " Abu Hanifah: Rasionalitas Fiqh dan Validitas Rantai Riwayat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel