Pertemuan 4 – Landasan Teologis Akuntabilitas Sosial dalam Islam

 





Pertemuan 4 – Landasan Teologis Akuntabilitas Sosial dalam Islam

A. Pendahuluan

Dalam pandangan Islam, akuntabilitas sosial (social accountability) memiliki dimensi teologis yang mendalam. Setiap tindakan manusia tidak hanya dinilai dari aspek sosial dan hukum duniawi, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat. Manusia sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk menegakkan keadilan, amanah, dan kesejahteraan sosial. Oleh sebab itu, akuntabilitas sosial dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keimanan dan etika ketuhanan.


B. Konsep Hisbah, Amanah, dan Tanggung Jawab Sosial

1. Hisbah

Konsep hisbah berasal dari akar kata ḥasaba yang berarti menghitung atau memperhitungkan. Dalam terminologi Islam, hisbah diartikan sebagai sistem pengawasan moral dan sosial yang bertujuan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 104)

Ayat ini menjadi dasar teologis bagi konsep hisbah sebagai mekanisme sosial untuk menjaga moral publik dan keadilan sosial. Dalam konteks modern, hisbah dapat diterapkan melalui lembaga pengawasan, regulasi etika bisnis, dan penguatan transparansi publik.


2. Amanah

Amanah bermakna kepercayaan atau tanggung jawab yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh kejujuran. Islam menempatkan amanah sebagai inti dari kepemimpinan, pekerjaan, dan relasi sosial.

Allah SWT berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al-Aḥzāb [33]: 72)

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap setiap amanah, baik dalam bentuk jabatan, kekuasaan, maupun harta. Amanah menjadi salah satu bentuk akuntabilitas spiritual yang menentukan integritas seseorang di hadapan Allah SWT.


3. Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial dalam Islam bersifat kolektif dan spiritual. Setiap individu, lembaga, dan masyarakat memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan sosial, menolong yang lemah, dan menghindari perilaku zalim.

Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 2)

Ayat ini menegaskan pentingnya kolaborasi sosial yang berorientasi pada nilai-nilai kebaikan dan ketakwaan sebagai bentuk nyata dari tanggung jawab sosial Islam.


C. CSR dalam Al-Qur’an dan Hadits

1. CSR dalam Al-Qur’an

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Islam berakar pada ajaran Al-Qur’an mengenai zakat, infak, sedekah, dan tanggung jawab sosial terhadap sesama.

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
(QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 19)

Ayat ini menegaskan bahwa harta dalam Islam bukan milik pribadi semata, tetapi mengandung hak-hak sosial yang wajib ditunaikan.

Demikian pula dalam ayat zakat:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(QS. At-Tawbah [9]: 103)

Ayat ini menjelaskan bahwa zakat berfungsi sebagai instrumen pembersihan diri dan distribusi keadilan sosial — prinsip yang sangat sejalan dengan gagasan CSR modern.


2. CSR dalam Hadits

Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, no. 23408)

Hadits ini menunjukkan bahwa manfaat sosial adalah ukuran kemuliaan manusia di sisi Allah. Maka, tanggung jawab sosial—baik dalam bentuk individu maupun korporasi—adalah ekspresi dari iman dan ihsan.


D. Nilai-Nilai Akuntabilitas Sosial dalam Islam

1. Keadilan (al-‘Adl)

Keadilan adalah pilar utama dalam struktur sosial Islam. Tanpa keadilan, masyarakat kehilangan legitimasi moral.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat...”
(QS. An-Naḥl [16]: 90)

Ayat ini menegaskan bahwa keadilan dan ihsan adalah dua prinsip yang saling melengkapi dalam akuntabilitas sosial. Keadilan memastikan hak setiap pihak terpenuhi, sementara ihsan menambah dimensi kemanusiaan dan kasih sayang dalam interaksi sosial.


2. Kejujuran (ash-Shidq)

Kejujuran adalah dasar kepercayaan dan legitimasi sosial. Tanpa kejujuran, tidak ada transparansi dan akuntabilitas.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menggambarkan bahwa kejujuran bukan hanya etika sosial, tetapi jalan menuju keselamatan spiritual.


3. Ihsan

Konsep ihsan menekankan kesempurnaan moral dalam setiap tindakan, baik yang terlihat maupun tidak. Ihsan menuntun manusia untuk bekerja dengan integritas karena kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi.

Rasulullah SAW bersabda:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR. Muslim)

Dengan demikian, ihsan adalah bentuk tertinggi dari akuntabilitas sosial — ketika seseorang berbuat baik bukan karena pengawasan manusia, melainkan karena kesadaran akan pengawasan Allah SWT.


E. Penutup

Landasan teologis akuntabilitas sosial dalam Islam menunjukkan bahwa setiap amal sosial dan profesional memiliki dimensi ibadah. Hisbah membentuk sistem kontrol moral, amanah menegaskan kejujuran dan tanggung jawab, sedangkan tanggung jawab sosial memastikan keberpihakan pada keadilan dan kemaslahatan. Prinsip CSR dalam Al-Qur’an dan Hadits memperkuat ide bahwa kesejahteraan bersama adalah bagian integral dari keimanan. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan ihsan menjadi fondasi akuntabilitas yang sejati dalam kehidupan individu, masyarakat, dan lembaga Muslim. ***


Daftar Pustaka (APA Style)

Al-Mawardi. (2000). Al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qur’an al-Karim.
Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI.
Hassan, K. (2019). Islamic Corporate Social Responsibility: Theory and Practice. Kuala Lumpur: IIUM Press.
Khan, F. (2015). Ethics, Governance and Accountability in Islam. London: Routledge.
Qaradawi, Y. (1997). Fiqh al-Zakah: A Comparative Study. Jeddah: Scientific Publishing Centre.
Rahman, A. (2018). Islamic Ethics and Social Responsibility. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syafi’i Antonio, M. (2012). Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW. Jakarta: Tazkia Publishing.


Penulis: Dawami, Dosen IAITF Dumai

0 Response to "Pertemuan 4 – Landasan Teologis Akuntabilitas Sosial dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel