BAB II KONSEP DASAR SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN
BAB
II
KONSEP
DASAR SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Sosiologi dan antropologi merupakan dua disiplin ilmu sosial yang
memiliki peran penting dalam memahami dinamika pendidikan. Pendidikan tidak
berdiri sendiri sebagai proses transfer pengetahuan, tetapi juga merupakan
fenomena sosial yang berlangsung dalam konteks masyarakat. Dalam pandangan
sosiologi, pendidikan dipahami sebagai lembaga sosial yang berfungsi untuk
mentransmisikan nilai, norma, dan kebudayaan kepada generasi penerus. Oleh
karena itu, analisis terhadap pendidikan tidak dapat dilepaskan dari struktur
sosial, stratifikasi, serta interaksi antarindividu dan kelompok dalam
masyarakat (Soekanto, 2019).
Sementara itu, antropologi memberikan perspektif yang lebih
mendalam terhadap unsur kebudayaan yang melekat dalam praktik pendidikan.
Setiap proses pendidikan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, baik dalam
kurikulum, metode pengajaran, maupun perilaku guru dan siswa. Antropologi
pendidikan menyoroti bagaimana nilai-nilai budaya memengaruhi pola belajar,
hubungan antarguru dan siswa, serta adaptasi peserta didik terhadap lingkungan
sosialnya. Dengan demikian, pemahaman antropologis membantu pendidik untuk
mengembangkan pendekatan yang kontekstual dan berakar pada budaya lokal
(Koentjaraningrat, 2015).
Keterpaduan antara sosiologi dan antropologi dalam konteks
pendidikan memungkinkan analisis yang lebih komprehensif terhadap realitas
sosial di sekolah maupun di masyarakat. Sosiologi membantu memahami sistem
sosial, peran, dan relasi kekuasaan dalam lembaga pendidikan, sedangkan
antropologi menelaah makna budaya dan simbolik di balik praktik pendidikan.
Integrasi kedua bidang ini penting untuk membentuk paradigma pendidikan yang
tidak hanya bersifat struktural dan formal, tetapi juga humanis dan kontekstual
(Tilaar, 2012).
Dalam konteks pendidikan Islam maupun pendidikan umum di
Indonesia, penerapan perspektif sosiologis dan antropologis sangat relevan.
Pendidikan di Indonesia berlangsung dalam keragaman budaya, etnis, dan agama
yang membutuhkan pemahaman lintas budaya agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam proses pembelajaran. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan
antropologi, pendidik dapat menumbuhkan sikap toleransi, empati sosial, dan
kesadaran multikultural di kalangan peserta didik (Abdullah, 2018).
Oleh karena itu, memahami konsep dasar sosiologi dan antropologi dalam pendidikan menjadi landasan penting bagi calon pendidik dan peneliti. Kedua disiplin ilmu ini tidak hanya memberikan kerangka analisis terhadap fenomena sosial dan budaya di sekolah, tetapi juga menumbuhkan kesadaran reflektif tentang bagaimana pendidikan berfungsi sebagai agen perubahan sosial. Dalam kerangka buku ajar ini, pembahasan berikutnya akan menguraikan konsep, teori, serta relevansi praktis kedua disiplin tersebut dalam praktik pendidikan kontemporer di Indonesia.
https://lintangrstjauza.blogspot.com/2025/10/bab-iv-teori-teori-dalam-kajian.html
B. Sosiologi
Pendidikan: Definisi, Ruang Lingkup, dan Fokus Kajian
Sosiologi pendidikan merupakan cabang dari ilmu sosiologi yang
mempelajari hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat. Ilmu ini
menelaah bagaimana lembaga pendidikan berfungsi sebagai agen sosialisasi yang
mentransmisikan nilai-nilai, norma, serta pola perilaku sosial kepada peserta
didik. Menurut Soekanto (2019), pendidikan dalam perspektif sosiologi dipandang
sebagai bagian integral dari sistem sosial yang berperan penting dalam menjaga
stabilitas dan perubahan sosial. Oleh karena itu, sosiologi pendidikan tidak
hanya membahas proses belajar mengajar di sekolah, tetapi juga mengkaji
bagaimana faktor sosial seperti keluarga, lingkungan, ekonomi, dan budaya
memengaruhi proses pendidikan.
Definisi sosiologi pendidikan mencakup dimensi yang luas. Menurut
Fagerlind dan Saha (1989), sosiologi pendidikan adalah studi tentang bagaimana
sistem pendidikan memengaruhi struktur sosial dan bagaimana struktur sosial
tersebut memengaruhi fungsi pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dilihat
sebagai cermin dari masyarakat yang melahirkan, mengatur, dan memelihara
nilai-nilai sosial tertentu. Artinya, perubahan dalam masyarakat seperti
globalisasi, urbanisasi, atau perkembangan teknologi akan berimplikasi langsung
terhadap sistem pendidikan dan pola hubungan sosial di dalamnya.
Ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi berbagai aspek
kehidupan sosial yang terkait dengan pendidikan, seperti struktur sosial
sekolah, hubungan antarindividu dalam proses belajar, mobilitas sosial melalui
pendidikan, serta pengaruh kebudayaan terhadap pola pembelajaran (Cangara,
2018). Sosiologi pendidikan juga mengkaji masalah ketimpangan sosial dalam
pendidikan, termasuk perbedaan akses, kesempatan, dan prestasi akademik antar
kelompok sosial. Dengan memahami ruang lingkup tersebut, pendidik dapat
merumuskan strategi pembelajaran yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial.
Selain itu, ruang lingkup sosiologi pendidikan mencakup analisis
terhadap fungsi manifest dan laten pendidikan dalam masyarakat. Fungsi manifest
adalah tujuan formal yang diakui secara sosial, seperti memberikan pengetahuan
dan keterampilan, sedangkan fungsi laten meliputi peran pendidikan dalam
pembentukan kelas sosial, jaringan sosial, serta pelestarian nilai-nilai
dominan (Parsons, 1959). Pemahaman terhadap fungsi-fungsi ini penting agar
pendidik tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga menyadari
dampak sosial yang lebih luas dari praktik pendidikan.
Fokus kajian sosiologi pendidikan meliputi tiga dimensi utama,
yaitu hubungan antara pendidikan dan masyarakat, interaksi sosial di lingkungan
sekolah, serta peran pendidikan dalam perubahan sosial. Dalam dimensi pertama,
sosiologi pendidikan memandang sekolah sebagai cermin masyarakat—tempat di mana
nilai, norma, dan struktur sosial diproduksi dan direproduksi. Pada dimensi
kedua, fokusnya pada dinamika hubungan antara guru, siswa, dan pihak sekolah
dalam konteks struktur sosial tertentu. Sedangkan dimensi ketiga menyoroti
kontribusi pendidikan terhadap mobilitas sosial dan perubahan nilai di masyarakat
(Bourdieu & Passeron, 1977).
Sosiologi pendidikan juga membahas isu ketimpangan sosial yang
muncul akibat sistem pendidikan yang tidak merata. Bourdieu (1986) menekankan
bahwa pendidikan sering kali memperkuat stratifikasi sosial melalui konsep
cultural capital atau modal budaya. Individu dari kelas sosial tertentu
cenderung memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan bermutu karena
mereka telah memiliki modal budaya yang sesuai dengan sistem sekolah. Analisis
ini memberikan dasar penting bagi kebijakan pendidikan yang berorientasi pada
keadilan sosial.
Dalam konteks Indonesia, kajian sosiologi pendidikan memiliki
relevansi yang tinggi karena keragaman sosial dan budaya bangsa. Perbedaan
daerah, agama, dan status ekonomi menimbulkan variasi dalam akses dan kualitas
pendidikan. Tilaar (2012) menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia harus mampu
menjadi instrumen transformasi sosial yang memperkuat kesetaraan dan keadilan.
Oleh karena itu, pendekatan sosiologi pendidikan dapat membantu pemerintah dan
pendidik memahami akar masalah sosial dalam dunia pendidikan nasional.
Lebih jauh lagi, sosiologi pendidikan mempelajari bagaimana nilai
dan norma sosial diinternalisasikan melalui kurikulum dan interaksi di sekolah.
Sekolah bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan
karakter sosial. Di sini, proses sosialisasi, disiplin, dan kontrol sosial
memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian siswa sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat (Durkheim, 1922). Dengan demikian, sosiologi pendidikan menempatkan
pendidikan sebagai sarana strategis untuk membangun masyarakat yang beradab dan
beretika.
Dalam praktiknya, sosiologi pendidikan juga berfungsi sebagai
dasar bagi pengembangan kebijakan pendidikan. Analisis sosiologis memungkinkan
pembuat kebijakan untuk memahami faktor-faktor sosial yang memengaruhi
efektivitas program pendidikan, seperti latar belakang keluarga, status
ekonomi, dan budaya belajar masyarakat. Melalui pendekatan ini, kebijakan
pendidikan dapat dirancang agar lebih adaptif terhadap kebutuhan sosial dan
tidak terjebak dalam model struktural yang kaku (Hasbullah, 2015).
Secara keseluruhan, sosiologi pendidikan membantu kita memahami
pendidikan bukan hanya sebagai proses individual, tetapi juga sebagai fenomena
sosial yang kompleks. Pendidikan menjadi wahana bagi reproduksi maupun
perubahan sosial, tergantung pada bagaimana sistem dan aktor-aktornya
berinteraksi. Dengan memahami definisi, ruang lingkup, dan fokus kajian
sosiologi pendidikan, calon pendidik dan peneliti akan memiliki landasan
teoritik yang kuat untuk mengkaji realitas pendidikan secara kritis dan
reflektif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan multikultural.
https://ochaa00.blogspot.com/2025/10/paradigma-sosiologi-dalam-pendidikan.html
C. ANTROPOLOGI
PENDIDIKAN: PENGERTIAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN
Antropologi pendidikan merupakan cabang ilmu antropologi yang
berfokus pada hubungan antara kebudayaan dan proses pendidikan. Antropologi
secara umum mempelajari manusia dan kebudayaannya dalam konteks yang luas,
meliputi cara berpikir, berperilaku, serta sistem nilai yang dianut oleh suatu
kelompok masyarakat (Koentjaraningrat, 2015). Ketika diterapkan dalam konteks
pendidikan, antropologi membantu kita memahami bagaimana budaya memengaruhi
cara belajar, cara mengajar, serta interaksi antara guru dan peserta didik.
Pendidikan, dalam pandangan antropologis, bukan hanya proses formal di sekolah,
tetapi juga proses sosial-budaya yang berlangsung sepanjang hayat di lingkungan
keluarga, masyarakat, dan lembaga keagamaan.
Dalam konteks pendidikan, antropologi memberikan perspektif bahwa
setiap sistem pendidikan selalu mencerminkan nilai-nilai dan tradisi budaya
masyarakat tempat ia berkembang. Misalnya, sistem pendidikan di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari nilai gotong royong, kebersamaan, dan religiusitas yang
melekat dalam budaya bangsa. Menurut Spradley (1979), pendekatan antropologi
dalam pendidikan memungkinkan pendidik memahami perbedaan budaya yang
memengaruhi persepsi dan perilaku belajar siswa. Dengan demikian, antropologi
pendidikan membantu menghindari bias budaya (cultural bias) dalam proses
pembelajaran, sekaligus mendorong munculnya pendidikan yang menghargai
keragaman.
Relevansi antropologi dalam pendidikan juga tampak pada upaya
membangun pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural menuntut pemahaman
yang mendalam terhadap perbedaan etnis, bahasa, dan nilai-nilai budaya peserta
didik. Melalui perspektif antropologis, pendidik dapat menyesuaikan kurikulum
dan strategi pembelajaran agar lebih kontekstual dan inklusif terhadap latar
belakang siswa (Banks, 2015). Hal ini sangat penting di Indonesia yang memiliki
keragaman suku dan budaya yang luas, sehingga penerapan prinsip-prinsip
antropologi dalam pendidikan dapat memperkuat persatuan nasional sekaligus
menghormati perbedaan.
Selain itu, antropologi pendidikan berperan dalam membantu guru
dan perancang kurikulum memahami bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai lokal
dapat diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan formal. Pendidikan tidak semestinya
meniadakan budaya lokal, melainkan mengembangkan potensi budaya tersebut agar
tetap hidup dan relevan di tengah arus globalisasi. Tilaar (2012) menegaskan
bahwa pendidikan yang berakar pada budaya lokal akan menghasilkan manusia yang
memiliki identitas kuat, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Dengan
demikian, pendekatan antropologis mendorong terciptanya pendidikan yang
kontekstual, humanis, dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, antropologi pendidikan memiliki relevansi
strategis dalam mengembangkan sistem pendidikan yang menghargai keberagaman dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan ini membantu guru dan
siswa untuk memahami bahwa setiap individu membawa warisan budaya yang unik dan
berharga dalam proses belajar. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai antropologis
ke dalam praktik pendidikan, diharapkan proses pembelajaran tidak hanya
berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter sosial,
empati, dan kesadaran multikultural. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
antropologi pendidikan menjadi bagian penting dalam menyiapkan calon pendidik
yang mampu menjawab tantangan pendidikan di masyarakat yang majemuk.
D. HUBUNGAN
TIMBAL BALIK ANTARA PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT
Pendidikan dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat timbal
balik dan saling memengaruhi. Pendidikan lahir dari kebutuhan masyarakat untuk
mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, pengetahuan, serta norma
sosialnya. Menurut Soekanto (2019), pendidikan berfungsi sebagai sarana
sosialisasi yang mentransmisikan nilai dan norma sosial dari generasi tua
kepada generasi muda. Dalam proses ini, masyarakat menjadi sumber nilai dan
sekaligus wadah bagi pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian, sistem pendidikan
mencerminkan struktur sosial masyarakat yang melahirkannya.
Sebaliknya, pendidikan juga memiliki peran penting dalam membentuk
dan mengubah masyarakat. Melalui pendidikan, individu dipersiapkan untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Durkheim (1922), pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan
membentuk individu agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga mampu
menjadi agen perubahan sosial. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya berfungsi
mempertahankan tatanan sosial yang ada (social reproduction), tetapi juga dapat
menjadi kekuatan transformatif yang mendorong kemajuan sosial.
Hubungan timbal balik ini dapat dilihat dari bagaimana sistem
pendidikan bereaksi terhadap perubahan sosial di masyarakat. Perubahan ekonomi,
teknologi, atau politik sering kali menuntut reformasi dalam kurikulum, metode
pembelajaran, maupun orientasi pendidikan. Fagerlind dan Saha (1989) menyatakan
bahwa sistem pendidikan adalah refleksi dari perkembangan sosial, sehingga
setiap perubahan dalam masyarakat akan tercermin dalam praktik pendidikan.
Misalnya, perkembangan teknologi digital mendorong lahirnya model pembelajaran
daring yang menyesuaikan dengan kebutuhan generasi digital saat ini.
Masyarakat juga berperan sebagai pengontrol terhadap arah dan
kualitas pendidikan. Melalui lembaga sosial seperti keluarga, komunitas, dan
pemerintah, masyarakat memberikan pengawasan terhadap implementasi nilai-nilai
pendidikan. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat menjadi penting dalam
menjamin relevansi pendidikan terhadap kebutuhan sosial dan budaya setempat
(Tilaar, 2012). Pendidikan yang terlepas dari konteks masyarakatnya berpotensi
melahirkan kesenjangan nilai dan kehilangan makna sosial yang mendalam.
Selain itu, pendidikan menjadi faktor strategis dalam mobilitas
sosial masyarakat. Melalui pendidikan, individu memiliki kesempatan untuk
memperbaiki posisi sosial dan ekonomi mereka. Bourdieu (1986) menekankan bahwa
pendidikan dapat menjadi sarana peningkatan modal budaya dan sosial yang
memungkinkan seseorang memperoleh pengakuan dan status lebih tinggi. Namun, ia
juga mengingatkan bahwa sistem pendidikan sering kali memperkuat struktur
sosial yang ada apabila tidak disertai dengan kebijakan pemerataan kesempatan
belajar.
Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, hubungan
antara pendidikan dan masyarakat menjadi semakin kompleks. Pendidikan harus
mampu mengakomodasi keragaman budaya, bahasa, dan agama, sambil tetap menjaga
kohesi sosial. Menurut Abdullah (2018), pendidikan berperan penting dalam
membentuk identitas kebangsaan yang inklusif melalui proses dialog budaya di
lingkungan sekolah. Oleh karena itu, lembaga pendidikan di Indonesia perlu
menanamkan nilai toleransi, gotong royong, dan moderasi beragama agar tercipta
keharmonisan sosial.
Pendidikan juga berfungsi sebagai sarana pembangunan masyarakat
yang berkelanjutan. Melalui peningkatan literasi, keterampilan, dan kesadaran
sosial, pendidikan mendorong masyarakat menjadi lebih adaptif terhadap
perubahan global. UNESCO (2015) menegaskan bahwa pendidikan merupakan fondasi
utama bagi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) karena
menghasilkan individu yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, kemajuan suatu bangsa sangat bergantung
pada sejauh mana pendidikan mampu menjawab tantangan masyarakat masa kini dan
masa depan.
Secara keseluruhan, hubungan timbal balik antara pendidikan dan
masyarakat menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan tumbuh
dari masyarakat dan pada saat yang sama menjadi motor penggerak transformasi
sosial. Pemahaman terhadap hubungan ini penting bagi pendidik dan pembuat
kebijakan agar sistem pendidikan tidak hanya berorientasi pada aspek akademik,
tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat. Dengan begitu, pendidikan akan
berfungsi sebagai instrumen sosial yang mampu menumbuhkan keadilan,
kesejahteraan, dan kemanusiaan dalam kehidupan bersama.
https://juliantyq.blogspot.com/2025/10/v-behaviorurldefaultvml-o.html
E. PERANAN
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sosiologi dan antropologi memiliki peranan yang signifikan dalam
memahami dan mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia. Kedua disiplin ilmu
ini memberikan kerangka analisis yang luas terhadap hubungan antara pendidikan,
masyarakat, dan kebudayaan. Menurut Soekanto (2019), sosiologi membantu
menjelaskan bagaimana struktur sosial dan dinamika masyarakat memengaruhi
kebijakan serta praktik pendidikan. Sementara itu, antropologi menyoroti aspek
kebudayaan yang memengaruhi pola belajar dan interaksi sosial dalam konteks
pendidikan. Kombinasi keduanya menjadi landasan penting bagi perumusan sistem
pendidikan yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia yang
majemuk.
Dalam konteks pembangunan pendidikan nasional, pendekatan
sosiologis memungkinkan pemerintah dan praktisi pendidikan untuk memahami
faktor-faktor sosial yang memengaruhi keberhasilan pendidikan. Misalnya,
ketimpangan sosial dan ekonomi sering kali berdampak pada akses terhadap
pendidikan. Melalui perspektif sosiologi, masalah tersebut dapat dikaji dari
segi struktur masyarakat, mobilitas sosial, dan distribusi sumber daya
pendidikan (Tilaar, 2012). Dengan demikian, peran sosiologi menjadi penting
dalam merancang kebijakan yang berorientasi pada pemerataan dan keadilan
pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, antropologi berperan dalam menjaga agar pendidikan
di Indonesia tetap relevan dengan budaya lokal. Pendidikan yang berakar pada
budaya daerah akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena nilai-nilai yang
diajarkan tidak bertentangan dengan tradisi yang telah ada. Menurut
Koentjaraningrat (2015), kebudayaan merupakan sistem makna yang memberi arah
pada kehidupan sosial, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan
antropologis mendorong pengembangan kurikulum yang berbasis budaya lokal dan
kontekstual, sehingga pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
tetapi juga menanamkan identitas kebangsaan dan kearifan lokal.
Peranan sosiologi dan antropologi juga terlihat dalam pengembangan
pendidikan multikultural. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman etnis,
agama, dan bahasa membutuhkan sistem pendidikan yang menghargai perbedaan.
Pendekatan sosiologi membantu memahami relasi sosial antar kelompok, sedangkan
antropologi memberikan pemahaman mendalam terhadap nilai dan simbol budaya yang
berbeda. Banks (2015) menegaskan bahwa pendidikan multikultural harus
berlandaskan pemahaman antropologis agar tidak bersifat homogenisasi budaya,
melainkan menghargai pluralitas sebagai kekayaan bangsa.
Selain itu, kedua disiplin ilmu ini berperan dalam pembentukan
karakter dan nilai sosial peserta didik. Pendidikan bukan hanya bertujuan
mencetak individu berpengetahuan, tetapi juga membentuk warga negara yang
beretika, bertanggung jawab, dan mampu hidup dalam masyarakat majemuk. Melalui
pemahaman sosiologis, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang demokratis
dan inklusif. Sedangkan melalui pemahaman antropologis, guru mampu
mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal ke dalam proses pembelajaran
(Hasbullah, 2015). Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi media pembentukan
karakter yang kontekstual dan berakar pada realitas sosial.
Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, sosiologi dan
antropologi memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan evaluasi sistem
pendidikan. Analisis sosiologis membantu memetakan hubungan antara pendidikan
dan pembangunan sosial-ekonomi, sedangkan analisis antropologis memberikan
wawasan tentang adaptasi kebijakan pendidikan terhadap konteks lokal. Misalnya,
penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia dapat dipandang sebagai upaya
untuk memberikan ruang bagi keberagaman sosial dan budaya yang ada di
daerah-daerah (Kemdikbud, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan
sosial-budaya sangat penting dalam pengembangan sistem pendidikan yang relevan
dan berkeadilan.
Selain itu, pengembangan penelitian pendidikan di Indonesia juga
sangat terbantu dengan perspektif sosiologi dan antropologi.
Penelitian-penelitian kualitatif yang berfokus pada praktik pendidikan di
masyarakat sering kali menggunakan metode etnografi, observasi partisipatif,
atau analisis interaksi sosial sebagai pendekatan ilmiah. Spradley (1979)
menjelaskan bahwa pendekatan etnografi memungkinkan peneliti untuk memahami
makna pendidikan sebagaimana dipersepsikan oleh peserta didik dan masyarakat.
Pendekatan semacam ini sangat berguna dalam mengembangkan model pendidikan yang
partisipatif dan berbasis komunitas.
Secara keseluruhan, sosiologi dan antropologi berperan sebagai
fondasi konseptual dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang holistik,
inklusif, dan berkelanjutan. Melalui integrasi kedua disiplin ini, pendidikan
tidak hanya dilihat sebagai proses akademik, tetapi juga sebagai fenomena
sosial-budaya yang sarat nilai dan makna. Pendidikan yang berlandaskan
pemahaman sosiologis dan antropologis akan lebih adaptif terhadap perubahan
sosial, menghargai keberagaman, serta berorientasi pada pembangunan manusia
seutuhnya. Oleh karena itu, para pendidik, peneliti, dan pembuat kebijakan
perlu menjadikan perspektif sosiologi dan antropologi sebagai bagian integral
dalam merancang masa depan pendidikan Indonesia.
F. KAJIAN LINTAS BUDAYA
DALAM PENDIDIKAN
Kajian lintas budaya dalam pendidikan merupakan bidang kajian yang
menelaah bagaimana perbedaan nilai, norma, dan kebiasaan sosial suatu kelompok
budaya memengaruhi proses pendidikan. Dalam konteks globalisasi, pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari interaksi antarbudaya yang semakin intens. Proses
pembelajaran di lembaga pendidikan modern melibatkan peserta didik dengan latar
belakang sosial, etnis, dan agama yang beragam. Oleh karena itu, pemahaman
lintas budaya menjadi penting agar proses pendidikan mampu menumbuhkan
toleransi, menghargai perbedaan, dan memperkuat integrasi sosial (Banks, 2015).
Secara konseptual, pendidikan lintas budaya berangkat dari pandangan
bahwa setiap sistem pendidikan mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakatnya.
Misalnya, pendidikan di masyarakat kolektivis seperti Indonesia lebih
menekankan nilai gotong royong dan harmoni sosial, sementara masyarakat
individualis cenderung menonjolkan kemandirian dan kompetisi (Hofstede, 2001).
Dalam konteks ini, pendidik perlu memahami perbedaan tersebut agar strategi
pembelajaran yang diterapkan tidak menimbulkan bias budaya dan dapat diterima
oleh seluruh peserta didik dengan adil dan proporsional.
Kajian lintas budaya juga menyoroti bagaimana pendidikan dapat
menjadi sarana untuk mentransmisikan, mempertahankan, sekaligus mengubah
nilai-nilai budaya. Pendidikan tidak hanya berfungsi mengajarkan ilmu
pengetahuan, tetapi juga menginternalisasikan nilai moral, etika, dan pandangan
hidup suatu masyarakat (Tilaar, 2004). Oleh sebab itu, kurikulum perlu
dirancang dengan memperhatikan konteks budaya lokal tanpa menutup diri terhadap
pengaruh budaya global yang bersifat konstruktif.
Selain itu, kajian lintas budaya dalam pendidikan menekankan
pentingnya pendekatan multikulturalisme. Pendidikan multikultural bertujuan
untuk mengakomodasi keberagaman budaya, bahasa, dan agama dalam satu sistem
pendidikan yang inklusif (Banks & Banks, 2010). Melalui pendidikan
multikultural, peserta didik belajar mengenal dan menghormati perbedaan,
menghindari stereotip, serta menumbuhkan kesadaran kritis terhadap
ketidakadilan sosial yang mungkin timbul akibat dominasi budaya tertentu.
Dalam praktiknya, pendidikan lintas budaya memiliki implikasi
terhadap metode dan strategi pembelajaran. Guru harus memiliki kompetensi
budaya (cultural competence) agar mampu berinteraksi dan mengajar siswa dari
berbagai latar belakang budaya secara efektif (Gay, 2018). Kompetensi budaya ini
mencakup kemampuan memahami konteks sosial-budaya siswa, menyesuaikan gaya
mengajar dengan kebutuhan mereka, dan mengembangkan komunikasi yang empatik
serta menghargai keberagaman.
Di Indonesia, kajian lintas budaya menjadi sangat relevan
mengingat bangsa ini terdiri dari ratusan etnis dan bahasa daerah. Pendidikan
yang sensitif terhadap konteks budaya lokal dapat mencegah kesenjangan sosial
dan memperkuat identitas nasional. Program seperti Merdeka Belajar yang
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) berupaya mendorong sekolah untuk mengembangkan kurikulum
berbasis karakter dan kearifan lokal (Kemendikbudristek, 2021).
Kajian lintas budaya dalam pendidikan juga menuntut kemampuan
peneliti untuk mengkaji fenomena pendidikan dari perspektif antropologis.
Penelitian etnografi, misalnya, memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana
budaya sekolah terbentuk, bagaimana interaksi antaranggota sekolah mencerminkan
nilai-nilai budaya, serta bagaimana kebijakan pendidikan berdampak pada
kelompok budaya tertentu (Spradley, 2007). Dengan demikian, pendekatan
antropologis dapat memperkaya kajian lintas budaya dengan data yang kontekstual
dan interpretatif.
Akhirnya, pendidikan lintas budaya tidak hanya relevan dalam
konteks pembelajaran formal, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.
Melalui pemahaman lintas budaya, pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan
sikap terbuka terhadap perbedaan dan menjadikan keberagaman sebagai sumber
kekuatan, bukan sumber konflik. Oleh karena itu, pendidikan lintas budaya
merupakan kunci bagi terbentuknya masyarakat yang toleran, demokratis, dan
berkeadaban global (Suparlan, 2002).
G. RANGKUMAN MATERI
Kajian sosiologi dan
antropologi dalam pendidikan memberikan landasan teoritis yang penting untuk
memahami bagaimana pendidikan berfungsi dalam konteks sosial dan budaya.
Sosiologi pendidikan menelaah hubungan antara lembaga pendidikan dengan
struktur sosial, nilai, dan norma masyarakat, sedangkan antropologi pendidikan
mengkaji pendidikan sebagai proses kebudayaan yang berfungsi mentransmisikan
nilai-nilai, pengetahuan, dan kearifan lokal dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Keduanya menegaskan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
konteks sosial-budaya tempat ia berlangsung.
Hubungan timbal balik antara
pendidikan dan masyarakat tampak dalam peran pendidikan sebagai agen perubahan
sosial. Pendidikan tidak hanya membentuk individu yang berpengetahuan, tetapi
juga masyarakat yang beradab dan adaptif terhadap dinamika zaman. Melalui
pemahaman lintas budaya, pendidikan dapat menjadi sarana penguatan identitas
nasional sekaligus pengembangan sikap toleran terhadap keberagaman. Pendekatan
multikultural dan kompetensi budaya guru menjadi faktor penting dalam
menciptakan pembelajaran yang inklusif dan menghargai perbedaan.
Dalam konteks Indonesia,
peranan sosiologi dan antropologi sangat penting untuk mengembangkan sistem
pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal namun terbuka terhadap
globalisasi. Kajian lintas budaya membantu pendidik memahami keragaman peserta
didik, merancang strategi pembelajaran yang kontekstual, dan menumbuhkan
kesadaran kritis terhadap ketimpangan sosial. Dengan demikian, integrasi
perspektif sosiologis dan antropologis dalam pendidikan dapat memperkuat
relevansi, keadilan, serta keberlanjutan sistem pendidikan nasional.
TUGAS DAN EVALUASI
1.
Jelaskan
perbedaan mendasar antara sosiologi pendidikan dan antropologi pendidikan,
serta bagaimana keduanya saling melengkapi dalam memahami proses pendidikan di
masyarakat multikultural seperti Indonesia.
2. Analisislah hubungan timbal
balik antara pendidikan dan masyarakat dengan memberikan contoh konkret
bagaimana perubahan sosial di masyarakat memengaruhi sistem pendidikan
nasional.
3. Dalam perspektif kajian lintas
budaya, bagaimana guru dapat mengembangkan kompetensi budaya (cultural
competence) agar proses pembelajaran lebih inklusif dan menghargai keberagaman
siswa?
4. Identifikasilah peran utama
sosiologi dan antropologi dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis
nilai-nilai lokal dan global. Jelaskan pula dampaknya terhadap karakter peserta
didik.
5.
Rancanglah
sebuah topik penelitian karya tulis ilmiah yang memanfaatkan pendekatan
sosiologi atau antropologi pendidikan untuk meneliti fenomena pendidikan di
lingkungan sekolah atau masyarakat sekitar Anda. Sertakan rumusan masalah
singkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
I. (2018). Konstruksi dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Banks,
J. A. (2015). Cultural diversity and education: Foundations, curriculum, and
teaching (6th ed.). New York, NY: Routledge. Retrieved from
https://www.routledge.com/Cultural-Diversity-and-Education-Foundations-Curriculum-and-Teaching/Banks/p/book/9781138654150
Banks,
J. A., & Banks, C. A. M. (2010). Multicultural education: Issues and
perspectives (7th ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Bourdieu,
P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory
and research for the sociology of education (pp. 241–258). New York, NY:
Greenwood Press.
Bourdieu,
P., & Passeron, J.-C. (1977). Reproduction in education, society and culture.
London: Sage Publications.
Cangara,
H. (2018). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Durkheim,
E. (1922). Education and sociology. New York, NY: The Free Press.
Fagerlind,
I., & Saha, L. J. (1989). Education and national development: A comparative
perspective. Oxford: Pergamon Press.
Gay,
G. (2018). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice (3rd
ed.). New York, NY: Teachers College Press.
Hasbullah.
(2015). Dasar-dasar ilmu pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hofstede,
G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions,
and organizations across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud). (2021). Kurikulum
Merdeka Belajar: Konsep dan implementasi. Jakarta: Kemdikbud RI.
Kemendikbudristek.
(2021). Panduan implementasi Merdeka Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.
Koentjaraningrat.
(2015). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Parsons,
T. (1959). The school class as a social system. Harvard Educational Review,
29(4), 297–318.
Soekanto,
S. (2019). Sosiologi: Suatu pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Spradley,
J. P. (1979). The ethnographic interview. New York, NY: Holt, Rinehart and
Winston.
Spradley,
J. P. (2007). Ethnography and culture. Long Grove, IL: Waveland Press.
Suparlan,
P. (2002). Menuju masyarakat multikultural. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar,
H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tuntangan global masa depan dalam
transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo. Retrieved from
https://catalogue.nla.gov.au/catalog/3359703
Katalog
Perpustakaan Nasional Australia
Tilaar,
H. A. R. (2012). Kebudayaan dan pendidikan nasional: Tantangan abad XXI. Jakarta:
Grasindo.
UNESCO.
(2015). Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action. Paris:
UNESCO.
Tilaar,
H. A. R. (1999). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia:
Strategi reformasi pendidikan nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Retrieved
from
https://openlibrary.org/books/OL154192M/Pendidikan_kebudayaan_dan_masyarakat_madani_Indonesia
PROFIL PENULIS
Dawami lahir di Bukit Batu pada 15 Oktober 1975 dari pasangan
Rubiah dan Busri, yang selalu menjadi sumber inspirasi dalam setiap langkah
hidupnya. Menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Dawami menapaki jalan akademik
dengan penuh dedikasi dan semangat belajar yang tinggi. Saat ini, ia tengah
menempuh studi doktoral di Program Pascasarjana UIN Suska Riau pada bidang
Pendidikan Agama Islam. Cita-cita besarnya adalah meraih jenjang akademik
sebagai lektor kepala dan guru besar, bukan sekadar untuk prestise, tetapi
sebagai bentuk pengabdian dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu. Prinsip
hidup yang ia pegang sederhana namun bermakna: membahagiakan orang-orang yang
dicintai, sebab dari kebahagiaan mereka, lahir pula kebahagiaan dalam dirinya.
Bagi Dawami, keberhasilan sejati adalah ketika ilmu dan kasih sayang dapat memberi
manfaat bagi sesama.


0 Response to "BAB II KONSEP DASAR SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN"
Posting Komentar