BAB 3 CSR DALAM REGULASI NASIONAL DAN INTERNASIONAL

 



BAB 3

 

CSR DALAM REGULASI NASIONAL DAN INTERNASIONAL

 

A. Pendahuluan  

Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility atau CSR) merupakan konsep yang telah berkembang secara global sebagai bentuk tanggung jawab moral dan etis perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks ekonomi modern, CSR tidak hanya dipandang sebagai aktivitas sukarela, melainkan sebagai bagian integral dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Di tingkat internasional, berbagai lembaga dan organisasi dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Labour Organization (ILO), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mengembangkan prinsip-prinsip CSR yang bersifat universal, meliputi hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, dan praktik bisnis yang adil (Carroll & Brown, 2018).

Dalam konteks nasional, penerapan CSR di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan seiring dengan terbitnya berbagai regulasi pemerintah. Salah satu regulasi yang paling menonjol adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang secara eksplisit mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, terutama bagi perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu, berbagai peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 memperjelas mekanisme implementasi CSR dalam konteks hukum nasional (Kementerian Hukum dan HAM RI, 2012). Dengan demikian, CSR di Indonesia bukan sekadar pilihan moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum yang memiliki dampak langsung terhadap reputasi dan keberlanjutan perusahaan.

Di tingkat internasional, pendekatan terhadap CSR semakin diperkuat melalui berbagai inisiatif global seperti United Nations Global Compact (UNGC), ISO 26000 Guidance on Social Responsibility, dan Global Reporting Initiative (GRI). Ketiga instrumen ini berfungsi sebagai pedoman bagi perusahaan multinasional dalam menerapkan praktik CSR yang beretika, transparan, dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Dalam kerangka tersebut, tanggung jawab sosial tidak hanya terbatas pada kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga mencakup komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, pelestarian lingkungan, serta keadilan sosial (Matten & Moon, 2020).

Dalam perspektif Islam, konsep CSR memiliki akar yang kuat dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip keadilan (al-‘adl), keseimbangan (al-mizan), dan tanggung jawab sosial (fard kifayah) menegaskan bahwa setiap individu maupun entitas bisnis memiliki kewajiban untuk menebar manfaat bagi masyarakat luas. Implementasi CSR dalam kerangka Islam dikenal dengan istilah mas’uliyyah ijtima’iyyah (tanggung jawab sosial) yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu, regulasi CSR dalam konteks negara Muslim seperti Indonesia perlu diperkaya dengan nilai-nilai Islam agar tidak semata-mata berorientasi pada kepatuhan hukum, tetapi juga pada pembentukan kesadaran etis dan spiritual dalam aktivitas bisnis (Dusuki & Dar, 2017).

Dengan memahami regulasi CSR baik di tingkat nasional maupun internasional, mahasiswa diharapkan dapat menilai secara kritis hubungan antara kebijakan pemerintah, norma global, dan prinsip-prinsip Islam dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendekatan komparatif ini penting untuk membentuk pemahaman holistik tentang CSR yang tidak hanya memenuhi standar hukum dan ekonomi, tetapi juga berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas Islam. Bab ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai perkembangan regulasi CSR di Indonesia, perbandingan dengan standar internasional, serta peluang integrasi nilai-nilai Islam dalam praktik akuntabilitas sosial perusahaan.

 

B. Uu Perseroan Terbatas Dan Peraturan Ojk Tentang Csr  

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menjadi tonggak penting dalam pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di Indonesia. Regulasi ini menegaskan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 74. Ketentuan ini menjadikan CSR bukan lagi kegiatan sukarela, tetapi kewajiban hukum bagi perusahaan untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama regulasi ini adalah memastikan agar kegiatan usaha tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial, melainkan juga memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kementerian Hukum dan HAM RI, 2007).

Ketentuan Pasal 74 UUPT diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Peraturan ini memberikan panduan operasional mengenai pelaksanaan CSR, termasuk mekanisme perencanaan, pelaporan, dan evaluasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. PP ini menegaskan bahwa pelaksanaan CSR harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan perusahaan dan dituangkan dalam rencana kerja tahunan, sehingga program CSR dapat terintegrasi dengan strategi bisnis korporasi. Selain itu, peraturan ini mengatur bahwa pelaporan pelaksanaan CSR harus menjadi bagian dari laporan tahunan yang disampaikan kepada pemegang saham (Kemenkumham RI, 2012). Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas menjadi aspek penting dalam implementasi CSR di Indonesia.

Selain pengaturan dalam UUPT dan PP No. 47 Tahun 2012, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga berperan penting dalam memperkuat penerapan CSR di sektor keuangan dan pasar modal. Melalui Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, OJK mewajibkan lembaga keuangan untuk menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan (sustainable finance) yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Salah satu elemen kunci dari peraturan ini adalah kewajiban bagi setiap entitas untuk menyusun Sustainability Report atau laporan keberlanjutan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial dan lingkungan perusahaan kepada publik (OJK, 2017). Dengan demikian, CSR tidak hanya dipandang sebagai aktivitas filantropis, tetapi juga bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan.

Implementasi peraturan OJK memperluas ruang lingkup CSR ke dalam sistem pelaporan dan pengambilan keputusan bisnis. Laporan keberlanjutan yang diwajibkan oleh OJK mencakup pengungkapan kinerja sosial, lingkungan, serta kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Dengan kerangka ini, perusahaan dituntut untuk menilai dampak sosial dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, sekaligus memperkuat mekanisme akuntabilitas kepada pemangku kepentingan (stakeholders). Hal ini sejalan dengan prinsip triple bottom line—profit, people, planet—yang menegaskan pentingnya keseimbangan antara keuntungan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan (Elkington, 1999).

Dari perspektif hukum Islam, kewajiban CSR sebagaimana diatur dalam UUPT dan POJK memiliki kesesuaian nilai dengan konsep tanggung jawab sosial dalam Islam. Prinsip maslahah (kemaslahatan), adl (keadilan), dan amanah (tanggung jawab) menjadi dasar moral bagi perusahaan untuk memastikan bahwa kegiatan bisnisnya tidak merugikan masyarakat dan lingkungan. Implementasi CSR dalam perspektif syariah juga dapat dikaitkan dengan instrumen sosial seperti zakat perusahaan, wakaf produktif, dan qard al-hasan sebagai wujud kontribusi korporasi terhadap kesejahteraan sosial (Asutay, 2013). Dengan demikian, pengaturan CSR oleh negara melalui UUPT dan OJK dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi nilai-nilai Islam dalam tata kelola ekonomi nasional yang bertujuan menciptakan keadilan sosial dan keseimbangan ekonomi.

Dalam konteks pendidikan tinggi dan pembelajaran CSR berbasis nilai Islam, pemahaman terhadap UU Perseroan Terbatas dan Peraturan OJK menjadi penting agar mahasiswa mampu mengaitkan antara regulasi formal dan etika spiritual dalam dunia bisnis. Mahasiswa diharapkan tidak hanya memahami CSR sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai wujud tanggung jawab moral dan religius terhadap masyarakat. Pendekatan integratif antara hukum nasional, kebijakan OJK, dan prinsip syariah akan membentuk paradigma baru CSR di Indonesia yang berorientasi pada keberlanjutan dan keberkahan (sustainability and barakah). Dengan demikian, CSR dapat berfungsi sebagai instrumen pembangunan sosial yang inklusif dan berkeadilan.

 

C. Global Reporting Initiative (Gri) Dan Iso 26000

Dalam konteks global, Global Reporting Initiative (GRI) dan ISO 26000 Guidance on Social Responsibility merupakan dua standar internasional yang paling berpengaruh dalam pengembangan dan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR). Kedua standar ini memberikan panduan bagi perusahaan untuk melaporkan dan mengimplementasikan kegiatan tanggung jawab sosial secara transparan, terukur, dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. GRI berfokus pada pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting), sedangkan ISO 26000 memberikan pedoman tentang bagaimana organisasi seharusnya beroperasi secara sosial bertanggung jawab. Dengan demikian, keduanya saling melengkapi dalam membangun sistem CSR yang tidak hanya memenuhi tuntutan etika, tetapi juga meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik (GRI, 2021).

Global Reporting Initiative (GRI) didirikan pada tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) bekerja sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP). Tujuannya adalah untuk menciptakan standar pelaporan keberlanjutan yang dapat digunakan secara global oleh berbagai organisasi lintas sektor. GRI menyediakan serangkaian pedoman atau GRI Standards yang mengatur cara organisasi melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari kegiatan usahanya. Laporan berbasis GRI memungkinkan pemangku kepentingan untuk menilai kinerja keberlanjutan perusahaan secara objektif. Dalam perkembangannya, GRI telah menjadi acuan utama dalam penyusunan laporan keberlanjutan, termasuk di Indonesia, di mana banyak perusahaan publik dan lembaga keuangan mengadopsi GRI sebagai standar pelaporan CSR mereka (GRI, 2021; OJK, 2017).

Sementara itu, ISO 26000 yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization pada tahun 2010 merupakan panduan komprehensif mengenai tanggung jawab sosial yang dapat diterapkan oleh semua jenis organisasi, baik publik maupun privat. Berbeda dengan standar ISO lainnya, ISO 26000 tidak bersifat sertifikasi, melainkan pedoman normatif yang memberikan prinsip dan kerangka kerja dalam penerapan CSR. Terdapat tujuh subjek inti dalam ISO 26000, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta keterlibatan dan pengembangan masyarakat (ISO, 2010). Standar ini menekankan pentingnya integrasi tanggung jawab sosial ke dalam strategi, budaya, dan pengambilan keputusan organisasi.

GRI dan ISO 26000 memiliki hubungan yang saling melengkapi. Jika GRI berperan sebagai instrumen pelaporan hasil kegiatan CSR, maka ISO 26000 berfungsi sebagai panduan strategis dalam pelaksanaan CSR itu sendiri. ISO 26000 memberikan arah mengenai apa yang harus dilakukan organisasi agar bertanggung jawab secara sosial, sedangkan GRI membantu organisasi melaporkan apa yang telah dilakukan dan dicapai dalam konteks tanggung jawab sosial tersebut. Kombinasi keduanya memperkuat transparansi dan kredibilitas perusahaan di mata publik dan investor, sekaligus membantu pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP, 2020).

Dalam konteks Islam, prinsip-prinsip dalam GRI dan ISO 26000 sejalan dengan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial dalam syariah. Konsep hisbah (pengawasan sosial), maslahah (kemaslahatan umum), dan amanah (tanggung jawab moral) menegaskan bahwa kegiatan bisnis harus memberikan manfaat bagi masyarakat serta tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Pelaporan berbasis GRI dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai akuntabilitas Islam (muhasabah) yang menuntut transparansi dan kejujuran dalam pengelolaan sumber daya. Sementara itu, implementasi ISO 26000 dapat diinterpretasikan sebagai wujud ihsan (kebaikan) dalam menjalankan aktivitas korporasi yang berpihak pada kesejahteraan sosial dan pelestarian alam (Dusuki & Dar, 2017).

Oleh karena itu, pemahaman terhadap GRI dan ISO 26000 menjadi sangat penting bagi mahasiswa dan praktisi yang mempelajari CSR dan Akuntabilitas Sosial Islam. Dengan memahami kedua standar ini, mereka dapat menilai bagaimana regulasi internasional dapat diadaptasi dengan prinsip-prinsip Islam untuk menciptakan sistem bisnis yang berkelanjutan, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Integrasi antara standar global dan nilai-nilai spiritual ini diharapkan mampu melahirkan paradigma CSR yang tidak hanya memenuhi tuntutan compliance, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan ethical business ecosystem yang diridhai Allah SWT.

D. Regulasi CSR di Negara-Negara Mayoritas Muslim

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di negara-negara mayoritas Muslim memiliki karakteristik tersendiri karena berakar kuat pada prinsip-prinsip etika Islam yang menekankan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan spiritual. Dalam konteks Islam, tanggung jawab sosial bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga bagian dari keimanan dan ibadah. Oleh karena itu, penerapan CSR di negara-negara Muslim tidak hanya didorong oleh tuntutan hukum dan ekonomi, tetapi juga oleh nilai-nilai religius seperti keadilan (al-‘adl), keseimbangan (al-mizan), dan tanggung jawab sosial (mas’uliyyah ijtima’iyyah). Regulasi CSR di negara-negara ini umumnya berupaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai syariah ke dalam kebijakan bisnis modern guna mencapai maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Asutay, 2013).

Di Malaysia, misalnya, regulasi CSR dikembangkan secara sistematis dengan dukungan pemerintah dan lembaga keuangan Islam. Bursa Malaysia sejak tahun 2006 telah mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar di pasar saham untuk mengungkapkan kegiatan CSR mereka dalam laporan tahunan. Kebijakan ini diperkuat oleh Securities Commission Malaysia melalui panduan Sustainability Reporting Guidelines yang menekankan integrasi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam praktik bisnis. Selain itu, lembaga-lembaga keuangan Islam di Malaysia seperti Bank Islam dan Maybank Islamic mengimplementasikan CSR yang berbasis nilai-nilai syariah dengan fokus pada pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan, serta kelestarian lingkungan (Dusuki & Dar, 2017).

Di Indonesia, sebagaimana dibahas pada subbab sebelumnya, kewajiban pelaksanaan CSR diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta diperkuat oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017. Namun yang membedakan Indonesia dengan banyak negara lain adalah adanya upaya untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam praktik CSR, terutama melalui lembaga keuangan syariah dan organisasi zakat. Banyak bank syariah di Indonesia menjalankan program CSR yang berbasis pada zakat, infak, dan sedekah (ZIS), seperti program community empowerment, bantuan pendidikan, serta pelestarian lingkungan (Beik & Arsyianti, 2016). Dengan demikian, implementasi CSR di Indonesia memiliki orientasi spiritual yang kuat dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial yang berkeadilan.

Sementara itu, di negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, pendekatan terhadap CSR banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan nilai-nilai Islam yang melekat dalam sistem ekonomi nasional. Arab Saudi, misalnya, mengembangkan CSR sebagai bagian dari Saudi Vision 2030, di mana sektor swasta didorong untuk berkontribusi terhadap transformasi sosial dan ekonomi nasional. Program CSR di negara ini sering kali dikaitkan dengan waqf (wakaf produktif) dan sadaqah (donasi sosial) yang dikelola secara profesional untuk pembangunan berkelanjutan (Al-Abdin, Roy, & Nicholson, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa CSR di dunia Islam dapat menjadi instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan sosial berbasis nilai-nilai religius.

Di Pakistan, CSR telah diatur dalam berbagai kebijakan pemerintah, termasuk dalam Pakistan Corporate Governance Code yang mewajibkan perusahaan untuk melaporkan kontribusi sosial dan lingkungan mereka. Perusahaan-perusahaan besar di sektor energi dan perbankan Islam seperti Meezan Bank dan Bank Alfalah mengembangkan program CSR berbasis nilai Islam yang menekankan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan pembangunan pendidikan. Selain itu, Pakistan juga mengadopsi Islamic Microfinance sebagai salah satu instrumen CSR yang efektif dalam mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial (Khan & Karim, 2020). Hal ini menegaskan bahwa CSR di negara mayoritas Muslim tidak hanya bersifat filantropis, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembangunan sosial yang terencana.

Negara-negara di kawasan Afrika Utara seperti Mesir dan Maroko juga mulai memperkenalkan kebijakan CSR yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah. Di Mesir, Egyptian Exchange (EGX) telah memperkenalkan indeks keberlanjutan (S&P/EGX ESG Index) untuk mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab. Sedangkan di Maroko, CSR menjadi bagian dari kebijakan nasional yang berfokus pada pengembangan sektor ekonomi hijau dan pemberdayaan masyarakat melalui lembaga keuangan syariah. Integrasi CSR dan keuangan Islam di kedua negara tersebut mencerminkan upaya nyata untuk menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi dalam pembangunan berkelanjutan (Abdou & Point, 2019).

Dari berbagai contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi CSR di negara-negara mayoritas Muslim memiliki kesamaan visi, yaitu membangun keseimbangan antara tanggung jawab ekonomi, sosial, dan spiritual. Namun, perbedaan pendekatan tetap terlihat tergantung pada struktur hukum dan kebijakan nasional masing-masing negara. Dalam konteks akademik dan pendidikan tinggi, pemahaman terhadap regulasi CSR di negara-negara Muslim ini menjadi penting agar mahasiswa mampu melihat bagaimana nilai-nilai Islam dapat dioperasionalkan dalam konteks kebijakan publik dan bisnis global. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat paradigma Islamic Social Responsibility (ISR) yang memadukan hukum positif, etika Islam, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.

E. Analisis Kebijakan CSR di Indonesia

Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia merupakan salah satu bentuk inovasi regulatif yang berupaya mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan lingkungan ke dalam sistem hukum ekonomi nasional. Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemerintah menegaskan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74). Ketentuan ini menjadikan CSR sebagai mandatory obligation yang melekat pada entitas bisnis, bukan sekadar kegiatan filantropis sukarela. Dalam konteks ini, pemerintah memposisikan CSR sebagai instrumen kebijakan publik untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat (Kementerian Hukum dan HAM RI, 2007).

Namun, secara implementatif, kebijakan CSR di Indonesia masih menghadapi tantangan struktural dan konseptual. Salah satu persoalan utama adalah belum adanya keseragaman dalam penafsiran dan penerapan konsep CSR di berbagai sektor industri. Banyak perusahaan masih memandang CSR sebagai aktivitas charity semata, bukan bagian dari strategi bisnis berkelanjutan. Padahal, secara normatif, CSR yang diatur dalam PP No. 47 Tahun 2012 harus mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan secara simultan (Kemenkumham RI, 2012). Ketidakkonsistenan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR belum sepenuhnya terintegrasi dengan prinsip good corporate governance (GCG) yang diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas sosial korporasi.

Dari sisi kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah penting melalui Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Peraturan ini mewajibkan lembaga keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyusun Sustainability Report yang berisi pelaksanaan CSR, pengelolaan dampak lingkungan, dan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (OJK, 2017). Langkah ini merupakan upaya untuk meningkatkan transparansi dan tanggung jawab sosial di sektor keuangan. Namun, implementasi kebijakan ini belum merata karena masih banyak perusahaan yang belum memiliki kapasitas teknis maupun sumber daya untuk menyusun laporan keberlanjutan secara komprehensif (Fitriani & Hakim, 2022).

Analisis terhadap kebijakan CSR di Indonesia juga menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi formal dan praktik di lapangan. Di satu sisi, regulasi telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan CSR, tetapi di sisi lain, banyak perusahaan yang melaksanakan CSR hanya untuk memenuhi kewajiban administratif. Akibatnya, kegiatan CSR sering kali bersifat seremonial dan tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Sebagian program CSR tidak dirancang berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat (need assessment), sehingga dampaknya terhadap kesejahteraan sosial relatif terbatas (Utama, 2020). Kondisi ini menuntut evaluasi mendalam terhadap efektivitas regulasi dan mekanisme pengawasan pelaksanaan CSR di tingkat nasional dan daerah.

Dari perspektif ekonomi Islam, kebijakan CSR di Indonesia memiliki potensi besar untuk diintegrasikan dengan nilai-nilai syariah. Prinsip keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan tanggung jawab (amanah) dalam Islam sejalan dengan semangat CSR yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, CSR dapat dikaitkan dengan instrumen ekonomi Islam seperti zakat perusahaan, wakaf produktif, serta dana sosial syariah yang dikelola secara profesional (Beik & Arsyianti, 2016). Pendekatan integratif ini memungkinkan pelaksanaan CSR tidak hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga menjadi ibadah sosial yang berdampak spiritual.

Selain itu, analisis kebijakan menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu memperkuat sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil dalam mengembangkan CSR yang berkelanjutan. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dengan menciptakan regulasi insentif, misalnya melalui potongan pajak (tax incentive) bagi perusahaan yang melaksanakan CSR berbasis pemberdayaan masyarakat. Dunia usaha diharapkan menginternalisasi CSR sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang, bukan sekadar kegiatan promosi atau kepatuhan hukum. Sementara itu, masyarakat sipil dapat menjadi mitra kritis yang mengawasi pelaksanaan CSR agar tetap transparan, partisipatif, dan berdampak luas (Riyadi, 2021).

Secara keseluruhan, kebijakan CSR di Indonesia mencerminkan komitmen negara dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan sosial. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sinergi antara regulasi, kesadaran korporasi, dan partisipasi publik. Dalam konteks pembelajaran CSR dan Akuntabilitas Sosial Islam, mahasiswa perlu memahami dinamika kebijakan ini tidak hanya dari aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga dari perspektif etika Islam. Dengan demikian, CSR dapat dikembangkan sebagai instrumen keadilan sosial dan kesejahteraan umat yang berlandaskan nilai spiritual dan moral yang kuat.

F. Rangkuman Materi

Corporate Social Responsibility (CSR) telah berkembang dari konsep sukarela menjadi instrumen kebijakan yang memiliki dasar hukum kuat dalam sistem ekonomi nasional maupun internasional. Dalam konteks global, CSR diatur oleh berbagai pedoman dan standar internasional seperti UN Global Compact, ISO 26000:2010, serta Sustainable Development Goals (SDGs) yang menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial (United Nations, 2015). Standar-standar tersebut menjadi rujukan bagi perusahaan untuk memastikan praktik bisnis yang etis, transparan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Secara akademik, pemahaman terhadap regulasi internasional ini penting untuk mengembangkan kesadaran global mahasiswa tentang tanggung jawab sosial korporasi dalam kerangka tata kelola dunia yang berkeadilan.

Dalam konteks Indonesia, CSR telah memperoleh legitimasi hukum melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 yang mewajibkan perusahaan di sektor sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Kementerian Hukum dan HAM RI, 2007; 2012). Kebijakan ini memperlihatkan bahwa negara menempatkan CSR bukan sekadar kegiatan filantropis, tetapi sebagai bagian integral dari tata kelola perusahaan (good corporate governance). Selain itu, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (POJK No.51/2017) tentang Keuangan Berkelanjutan memperkuat transparansi dan akuntabilitas sosial korporasi melalui kewajiban pelaporan keberlanjutan (sustainability report). Implementasi kebijakan ini menjadi cerminan peran negara dalam mendorong keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial, sesuai dengan arah pembangunan berkelanjutan nasional.

Dalam perspektif Islam, prinsip-prinsip dasar CSR memiliki keselarasan dengan nilai-nilai syariah seperti keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan tanggung jawab (amanah). CSR tidak hanya dilihat sebagai kewajiban moral dan sosial, tetapi juga sebagai bentuk ibadah yang berdampak pada kesejahteraan umat dan kelestarian alam. Dengan demikian, regulasi CSR baik nasional maupun internasional dapat dijadikan sebagai sarana integrasi antara etika bisnis modern dan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Pemahaman ini diharapkan dapat membentuk mahasiswa yang tidak hanya memahami kerangka hukum CSR, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai-nilai spiritual dan sosial dalam praktik akuntabilitas sosial Islam yang berkeadilan dan berkelanjutan (Beik & Arsyianti, 2016; Dusuki & Abdullah, 2007).

TUGAS DAN EVALUASI ( 5 Pertanyaan)

Petunjuk Umum:

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan menggunakan referensi dari buku ajar, peraturan perundang-undangan, serta sumber akademik lain yang relevan. Gunakan gaya penulisan ilmiah (APA Style) dan argumentasi yang logis berdasarkan teori dan praktik CSR nasional maupun internasional.

Soal:

1.     Analisis Regulatif CSR Nasional

Jelaskan perkembangan regulasi Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bagaimana regulasi ini mengubah paradigma tanggung jawab sosial perusahaan dari sekadar kegiatan sukarela menjadi kewajiban hukum?

2.     Perbandingan CSR Internasional dan Nasional

Bandingkan prinsip-prinsip dasar CSR yang tercantum dalam ISO 26000:2010 dan Global Reporting Initiative (GRI) dengan kebijakan CSR di Indonesia. Apa kesamaan dan perbedaan mendasar antara keduanya dalam konteks pelaporan keberlanjutan dan akuntabilitas sosial?

3.     Studi Kasus Negara Muslim

Pilih satu negara mayoritas Muslim (misalnya Malaysia, Uni Emirat Arab, atau Qatar) dan jelaskan bagaimana kebijakan CSR diterapkan di negara tersebut. Bandingkan dengan pelaksanaan CSR di Indonesia, terutama dari segi integrasi nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik.

4.     Integrasi Nilai Islam dalam Regulasi CSR

Jelaskan bagaimana nilai-nilai Islam seperti keadilan (‘adl), amanah, dan maslahah dapat diintegrasikan ke dalam regulasi CSR modern di Indonesia. Berikan contoh konkret penerapan nilai-nilai tersebut dalam kebijakan atau praktik bisnis perusahaan.

5.     Kritik dan Rekomendasi Kebijakan

Lakukan analisis kritis terhadap efektivitas implementasi CSR di Indonesia berdasarkan regulasi yang berlaku (UU No. 40 Tahun 2007, PP No. 47 Tahun 2012, dan POJK No. 51 Tahun 2017). Berikan rekomendasi kebijakan agar CSR dapat berperan lebih signifikan dalam mewujudkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Petunjuk Penilaian:

1.     Setiap jawaban dinilai berdasarkan ketepatan analisis, kedalaman argumentasi, dan penggunaan referensi ilmiah terkini.

2.     Jawaban ideal mengaitkan antara teori CSR modern dan prinsip akuntabilitas sosial Islam.

3.     Gunakan kutipan dan daftar pustaka dengan gaya APA (Mendeley format).

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H. A., & Point, S. (2019). CSR practices in emerging economies: The case of Islamic countries. Journal of Business Ethics, 157(4), 885–902. https://doi.org/10.1007/s10551-017-3660-4

Al-Abdin, A., Roy, T., & Nicholson, J. D. (2018). Researching corporate social responsibility in the Middle East: The current state and future directions. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 25(1), 47–65. https://doi.org/10.1002/csr.1439

Asutay, M. (2013). Islamic moral economy as the foundation of Islamic finance. In Foundations of Islamic governance: A framework for social and economic justice (pp. 15–33). London: Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/9781137351644_2

Beik, I. S., & Arsyianti, L. D. (2016). Ekonomi pembangunan syariah: Perspektif makro Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Carroll, A. B., & Brown, J. A. (2018). Corporate social responsibility: A review of current concepts, research, and issues. New York: Routledge.

Dusuki, A. W., & Abdullah, N. I. (2007). Maqasid al-Shariah, maslahah, and corporate social responsibility. The American Journal of Islamic Social Sciences, 24(1), 25–45. https://doi.org/10.35632/ajiss.v24i1.436

Dusuki, A. W., & Dar, H. (2017). Stakeholders’ perception of corporate social responsibility of Islamic banks: Evidence from Malaysian economy. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 10(3), 398–415. https://doi.org/10.1108/IMEFM-06-2016-0087

Elkington, J. (1999). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century business. Oxford: Capstone Publishing.

Fitriani, E., & Hakim, A. (2022). Implementasi pelaporan keberlanjutan pada perusahaan publik di Indonesia: Analisis terhadap regulasi OJK No.51/POJK.03/2017. Jurnal Akuntabilitas dan Keuangan Publik, 9(1), 45–60. https://doi.org/10.21009/jakp.091.04

Global Reporting Initiative. (2021). GRI standards: Consolidated set of sustainability reporting standards. Amsterdam: GRI Secretariat. Retrieved from https://www.globalreporting.org

International Organization for Standardization. (2010). ISO 26000: Guidance on social responsibility. Geneva: ISO.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jakarta: Kemenkumham RI.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Jakarta: Kemenkumham RI.

Khan, M. S., & Karim, S. (2020). Islamic microfinance and CSR: Pathways for poverty alleviation in Pakistan. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 11(5), 1003–1020. https://doi.org/10.1108/JIABR-12-2019-0234

 

Matten, D., & Moon, J. (2020). “Implicit” and “explicit” CSR: A conceptual framework for a comparative understanding of corporate social responsibility. Academy of Management Review, 45(2), 405–424. https://doi.org/10.5465/amr.2018.0085

Otoritas Jasa Keuangan. (2017). Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Jakarta: OJK.

Riyadi, S. (2021). Sinergi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam implementasi CSR di Indonesia. Jurnal Kebijakan Publik dan Pembangunan Sosial, 5(2), 122–138.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. New York: United Nations.

United Nations Development Programme. (2020). Human development report 2020: The next frontier – Human development and the Anthropocene. New York: UNDP.

Utama, S. (2020). Corporate social responsibility disclosure in Indonesia: A review of current practices and regulatory framework. Journal of Applied Accounting and Finance, 4(1), 1–14. https://doi.org/10.21460/jaaf.2020.41.01



PROFIL PENULIS




Dawami lahir di Bukit Batu pada 15 Oktober 1975 dari pasangan Busri dan Rubiah. Ia menempuh pendidikan sarjana dan magister di Universitas Riau dalam bidang Ilmu Komunikasi, dan saat ini tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dengan fokus pada komunikasi pendidikan dan akuntabilitas sosial Islam. Sebagai dosen dan penulis, Dawami memiliki semangat kuat untuk mengembangkan ilmu yang berpadu antara nilai kemanusiaan, moral, dan spiritualitas Islam. Baginya, ilmu harus memberi manfaat bagi kehidupan dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Prinsip hidup yang senantiasa ia pegang ialah berusaha membuat orang lain bahagia, terutama mereka yang dicintainya, karena dari kebahagiaan orang lainlah Allah SWT akan menurunkan kemudahan dan keberkahan dalam setiap langkah menuju cita-cita. luas bagi masyarakat melalui ilmu, karya, dan keteladanan.

0 Response to "BAB 3 CSR DALAM REGULASI NASIONAL DAN INTERNASIONAL"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel