SANG GURU
Pagi itu, Jumat, 4 Juli 2025. Kota Dumai diselimuti mendung.
Langit tak meraung, tapi diamnya menggetarkan. Hujan tak turun deras, tapi air mata tak henti menetes dari wajah-wajah mereka yang kehilangan.
Di grup WhatsApp mahasiswa, satu pesan muncul, singkat:
"Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang ke rahmatullah, Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H., Rektor kita. Pukul 05.40 WIB, di kediaman beliau. Mohon doa terbaik dari kita semua."
Semua sunyi. Tak ada yang membalas. Hanya emoji tangis dan ucapan Innalillahi berjejer panjang.
Di kampus IAITF Dumai, bendera setengah tiang berkibar. Di pelataran, mahasiswa berkumpul tanpa aba-aba. Beberapa dosen berdiri membisu. Bahkan tukang kebun Pak De, yang biasa bercanda dengan mahasiswa, hanya menunduk sambil menyapu daun basah dengan gerakan lambat.
“Yoga, ini... ini bukan hoaks, kan?” tanya Lala sambil memegang lengan temannya erat-erat.
Yoga menarik napas panjang. “Aku udah cek ke Pak Warek. Ini bener, La. Beliau wafat tadi subuh.”
Lala menutup mulutnya, air mata jatuh. “Padahal aku baru kemarin baca ulang catatan kuliah beliau tentang Usul Fikih. Masih sempat beliau bilang: ‘Kita hidup di pesisir, dakwah jangan di darat saja.’”
Di sisi lain halaman, Jenny berdiri di bawah pohon ketapang. Ia menatap kosong ke arah mushola kampus. Tangannya meremas buku kecil berjudul "Maqashid Syarih dan Pemkiran Stria Efendi M Zein da Analisis HukumKeluarga Islam i Indonesia". Buku itu ditulis sang guru sendiri.
Di dalamnya ada catatan tangannya:
Untuk Jenny, semoga menjadi ulama perempuan yang lembut hati dan tajam akal.
“Tapi aku belum pantas, Pak... Belum pantas...” gumamnya.
Seseorang duduk di sampingnya. Dwi, sahabat sekelasnya yang dikenal tenang.
“Kamu tahu, Jen? Dulu aku pernah ngeluh ke beliau soal tugas skripsi. Aku bilang, ‘Saya buntu, Pak. Bingung mulai dari mana.’”
Jenny menoleh. “Terus, beliau jawab apa?”
Dwi tersenyum samar. “Beliau cuma bilang, ‘Kalau kamu bingung, tulis saja kebingunganmu itu. Nanti ilmu akan datang saat kamu jujur dengan dirimu.’ Dan anehnya, itu jadi paragraf pembuka skripsiku.”
Jenny mengangguk pelan. “Beliau bukan hanya ngasih ilmu, ya. Tapi juga nyentuh hati.”
Usai salat jenazah di masjid kampus, mahasiswa mulai bergerombol di serambi.
Riski, sang muazin muda kesayangannya yang sering diminta jadi imam cadangan oleh beliau, duduk termenung. Ia didekati oleh Taufik, mahasiswa selalu bersemangat.
“Kau kayak gak di dunia, Ki.”
Riski menyeka matanya. “Aku tuh... ya Allah, Taufik... Aku tuh masih inget suara beliau waktu terakhir manggil aku: ‘Riski, latihan jadi imam jangan cuma hafal ayat, tapi hafal makna. Karena kamu nanti bukan cuma ditanya bacaannya, tapi juga kenapa kamu baca itu.’”
Taufik duduk di sebelahnya. “Berat ya... kayak kehilangan bapak sendiri.”
“Bahkan lebih,” gumam Riski. “Aku tuh... dari kecil gak kenal ayah kandungku. Dan beliau tuh satu-satunya laki-laki yang pernah manggil aku ‘Anak muda harapan umat’ sambil nyentuh pundakku.”
Malam hari, setelah pemakaman, beberapa mahasiswa senior berkumpul di aula kampus. Aula itu gelap, hanya lampu-lampu dinding yang menyala remang.
Di tengah mereka, meja kayu dikelilingi oleh kursi-kursi. Di atasnya, kopi sachet yang belum diseduh, dan tumpukan buku yang mereka bawa masing-masing.
“Gimana kalau kita bikin kelas ‘Ilmu Sang Guru’? Mingguan,” usul Angga, mahasiswa semester akhir.
“Isinya?” tanya Yoga.
“Kita buka catatan-catatan beliau. Diskusi. Bukan untuk mengkultuskan, tapi melanjutkan. Beliau selalu bilang: ‘Ilmu itu bukan dihafal, tapi diteruskan.’”
Dwi mengangguk. “Aku bisa handle materi ‘fikih sosial’. Beliau pernah kasih aku satu sesi penuh soal bagaimana Islam hadir di tengah konflik, bukan jadi alat konflik.”
Jenny menambahkan, “Aku bisa bahas fikih perempuan. Ingat gak, waktu beliau bilang, ‘Jangan jadikan perempuan hanya objek syariah, tapi jadikan mereka subjek perubahan’?”
Semua tersenyum. Mata mereka berkilat. Rasa kehilangan berubah menjadi cahaya.
Tiga minggu kemudian, di papan pengumuman kampus, terpampang selebaran:
"Kelas Sang Guru"
Diskusi Pekanan Ilmu dan Nilai
Warisan Intelektual Dr. H. Ahmad Rozai Akbar
Hari: Jumat, pukul 16.00 WIB
Tempat: Aula Kampus IAITF
Terbuka untuk semua mahasiswa dan dosen
“Karena ilmu tak pernah mati. Ia hidup, selama ada yang menghidupkannya.”
Hari ini, kampus itu tidak hanya kehilangan pemimpinnya. Tapi menemukan kembali denyutnya.
Dari catatan kuliah, potongan khutbah, hingga senyuman dan sapaan, semuanya kini menjadi pusaka.
Sang guru memang telah tiada. Tapi ajarannya berjalan di kaki-kaki muda yang bersiap melangkah.
Ia hidup dalam doa. Dalam perjuangan. Dalam semangat para murid yang mencintainya.
Langit malam itu masih menyisakan bulan sabit.
Menelentang ke atas, seperti senyum.
Senyum seseorang yang telah selesai menunaikan tugasnya di bumi.
Penulis : Dawami Bukitbatu
Dosen IAITF Dumai | Penjaga Kenangan
0 Response to " SANG GURU"
Posting Komentar