Menunggu Isyarat Langit





ANGIN laut menyapu pelan wajah Anggun saat perahu kayu kecil itu mendekati tepian Pulau Besar. Debur ombak menyentuh lunas perahu seakan memberi salam. Di kejauhan, deretan pohon-pohon tua meliuk seperti bersujud di bawah langit yang mengirimkan cahaya subuh perlahan. Di balik semak dan pasir putih, tampak bayang-bayang pondok tua, masjid lama, dan jalan setapak berlumut menuju hutan keramat.

“Ini Pulau Besar,” ucap Hakim perlahan, nada suaranya hampir seperti bisikan doa. “Tanah ini bukan sembarang tanah. Ini tempat para wali memendekkan jarak antara langit dan bumi.”

Anggun turun dari perahu. Tanahnya lembut, tapi ada getar dingin merambat dari telapak kaki sampai ke ubun-ubun. Udara di sekitarnya seperti disaring oleh doa yang abadi. Bukan hawa biasa, ini hawa yang diselimuti zikir.

Mereka berjalan menyusuri lorong sempit beralaskan tanah merah. Di sisi kiri dan kanan, berdiri pohon kelapa dan sentang yang ratusan tahun usianya. Burung-burung sunyi bersiul pendek, seolah menyambut kedatangan tamu dengan hati-hati.

“Ini jalan menuju makam Sultan Sriffin Syeikh Ismail,” kata Hakim. “Seorang pendakwah dari Baghdad, guru para wali, pemimpin tarekat dan pembuka jalan Islam ke bumi Melayu. Dari sini, beliau menyulam cahaya ke Demak, Aceh, hingga Palembang.”

Sampai di puncak bukit kecil, Anggun memandang lautan luas dari celah pepohonan. Dari titik itu, tampak jelas garis pantai Melaka dan laut biru yang dulu dipenuhi kapal-kapal dagang, dan... kapal-kapal perang. Hakim menunjuk ke arah barat.

“Dari sinilah utusan Demak menunggu isyarat. Konon, para ulama berkumpul di gua Yunus di belakang sana. Berzikir, berdoa, memohon keberanian sebelum menyerang Portugis yang telah merobohkan Melaka tahun 1511. Mereka datang dari Aceh, dari Riau, dari Palembang, bahkan dari Banten. Tapi semuanya bermula dari doa di sini.”

Anggun menunduk. Tak bisa ia menjelaskan rasa yang menyusup dalam dadanya. Seolah ada ribuan bisikan dalam diam. Seperti tanah ini menyimpan suara-suara lampau yang tak pernah benar-benar pergi.

Lalu mereka tiba di pelataran makam. Tertulis dengan kaligrafi tua di gerbang kayu: "Ya Allah, jadikanlah kunjungan ini sebagai ziarah hati, bukan sekadar jasad.” Di dalam, pelataran makam bersih dan harum. Ada lelaki tua membaca ratib. Ada wanita yang menangis pelan, mungkin memohon kesembuhan, mungkin melepas rindu kepada seorang yang sudah tiada.

Tapi tidak ada yang bersuara. Hanya hati yang berbicara.

“Jangan datang ke sini untuk meminta dunia,” bisik Hakim. “Datanglah untuk mengingat betapa kecilnya kita di hadapan-Nya. Tempat ini bukan untuk memuja, tapi untuk bersujud.”

Anggun menatap langit. Ia merasa seperti waktu berhenti. Di tanah ini, sejarah dan spiritualitas saling mengikat. Di tanah ini, doa menjadi jembatan, dan langkah menjadi dzikir. Ia bisa membayangkan kapal Aceh yang berlayar dari utara, membawa pesan jihad. Ia bisa mendengar jejak kaki para wali yang melangkah malam-malam ke Gua Yunus. Ia bisa melihat Sultan Ariffin bersila di bawah cahaya rembulan, mulutnya terus membaca "La ilaha illallah..."

Pulau Besar bukan hanya tanah. Ia adalah madrasah yang sunyi, maqam para pencinta, dan taman zikir yang tak pernah padam. Siapa yang datang dengan hati bersih, akan pulang membawa cahaya. Tapi siapa yang datang dengan tamak, akan tersesat dalam ilusi keramat.

Saat mereka kembali ke perahu, mentari telah tinggi. Namun cahaya pagi di Pulau Besar tetap teduh. Seolah Tuhan menurunkan selimut rahmat di atasnya, tak pernah habis. ***/dawami bukitbatu

0 Response to "Menunggu Isyarat Langit"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel