Pulau Besar : Tanah Wali yang Tidak Tertidur
Di hadapan laut yang tak pernah letih melantunkan tasbihnya, berdirilah sebuah pulau kecil—namun jiwanya besar. Ia bernama Pulau Besar. Bukan besar karena garis pantainya yang panjang, bukan pula karena bukitnya yang menjulang atau ombaknya yang menggulung. Ia besar karena dalam tanahnya tertanam ribuan sujud, ratusan doa, jejak kaki para kekasih Tuhan, dan jasa para pendakwah yang menyulut cahaya Islam di ufuk Nusantara. Ia adalah tanah yang tidak pernah benar-benar tidur, bahkan ketika dunia sekitarnya tenggelam dalam senyap sejarah.
Sekitar 13 kilometer dari pesisir Bandar Melaka, Pulau Besar hanya terbentang seluas 1.2 kilometer persegi. Tapi keluasan spiritualnya melampaui batas geografi. Dari kejauhan, angin Selat Melaka membawa bisikan tua, mengisahkan bagaimana para wali dari Bagdad, Gujarat, Hadharamaut, dan Yaman dahulu menapakkan kaki di sini sebelum melanjutkan dakwah ke Demak, Palembang, dan Gresik. Sebagai titik simpul dalam jaringan pelayaran dan peradaban Islam abad ke-13 hingga ke-16, Pulau Besar menjadi tempat di mana agama bukan sekadar ajaran, melainkan perjalanan ruhani.
Di antara nama-nama agung yang disebut dalam hikayat dan manuskrip lama, satu nama berdiri tegak di hati Pulau Besar: Sultan Ariffin Syeikh Ismail. Seorang sufi besar yang berasal dari Baghdad, beliau memilih menetap dan wafat di pulau ini. Makamnya kini menjadi pusat ziarah, bukan hanya untuk mereka yang mencari keberkatan, tetapi juga mereka yang mencari jejak ilmu, cinta Ilahi, dan hakikat diri. Beliau diyakini sebagai pembimbing tarekat awal, membina murid-murid dari seluruh Kepulauan Melayu, membentuk peradaban batin sebelum peradaban zahir menyusul.
Pulau Besar bukan sekadar tempat transit pelaut atau perhentian para perantau. Ia adalah madrasah senyap. Tempat bertemunya ruh-ruh yang mencari Tuhan dalam khalwat dan zikir. Di sinilah para pendakwah menyiapkan jiwa sebelum mengarungi samudera dakwah. Dari tempat sunyi ini, cahaya Islam menjalar ke Demak, Gresik, Banten, Aceh, dan Palembang. Hubungan antara Pulau Besar dan Wali Songo bukan sekadar spiritual; ia membentuk poros dakwah maritim, mempertemukan hikmah Timur Tengah dengan kebijaksanaan lokal Nusantara. Pendekatan mereka serupa: lembut tapi mendalam, melalui seni, budaya, dan akhlak yang menyentuh hati.
Beberapa tempat suci di Pulau Besar masih menjadi saksi bisu akan masa-masa agung itu:
• Gua Yunus, tempat khalwat yang senyap
• Perigi Bunian, dipercayai tempat mandi para wali
• Batu Kapal, menyerupai bahtera ghaib
• Tapak Kaki Sultan Ariffin, tempat beliau bersujud dan bermunajat
• Meriam Bunian dan Batu Belah, yang menyimpan kisah-kisah antara dunia nyata dan alam ghaib
Pulau Besar hari ini masih menjadi destinasi ziarah. Namun di tengah kekhusyukan itu, muncul pula keperluan untuk menegakkan garis batas antara ziarah dan khurafat. Institusi seperti Jabatan Agama Islam Melaka (JAIM) menekankan bahawa ziarah harus dipandu akidah yang lurus—bahawa pulau ini bukan tempat pemujaan, melainkan tempat pengingat. Ia bukan altar persembahan, melainkan ruang ibrah untuk menyambung ruh zaman yang telah berlalu.
Pulau Besar adalah sebuah permata spiritual di Selat Melaka. Sebuah tapak di mana Islam tidak datang dengan pedang, tetapi dengan pelita cahaya. Di sinilah akidah ditanam dengan kelembutan, kesabaran, dan kasih sayang. Ia tetap menunggu kedatangan para pencari—bukan pencari dunia, tetapi pencari makna, pencari Tuhan. Ia tidak pernah tidur. Ia masih mendengar doa. Dan siapa yang datang dengan hati yang bersih, akan menemukan jalan pulang. ***
Penulis: Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai, Pegiat Lingkar Pojok Literasi, Jurnalis Senior.
0 Response to "Pulau Besar : Tanah Wali yang Tidak Tertidur"
Posting Komentar