Jejak yang Tak Selesai di Tanah Ilmu dan Dakwah (Lanjutan Esai Reflektif untuk Mengenang Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H.)
SEBAGAI Rektor IAITF Dumai, almarhum Dr. Rozai tidak hanya mendudukkan diri sebagai pemimpin akademik, melainkan juga sebagai penggubah ruh pendidikan—menganyamnya dari benang-benang wahyu dan realitas. Ia tidak sekadar menyusun kurikulum yang tunduk pada standar nasional, melainkan menyisipkan napas lokal dalam setiap mata kuliah dan kegiatan.
Ushul Fiqh, misalnya, tidak lagi diajarkan hanya dari teks klasik, tetapi juga lewat studi kasus masyarakat pesisir: soal harta warisan nelayan yang terombang-ambing gelombang, atau soal akad kepercayaan antara pedagang kecil dan pelanggan di pelabuhan. Ia menjadikan surau dan masjid sebagai laboratorium sosial—tempat ilmu menjelma menjadi aksi. Di sanalah, pendidikan menyatu dengan denyut kehidupan.
Ia tahu benar bahwa nilai-nilai Melayu-Islam bukanlah sekadar kearifan yang bisa dilestarikan di ruang etnografi, tetapi harus hidup dan menyatu dalam kurikulum jiwa. "Islam datang ke bumi Melayu bukan dengan pedang," ujarnya dalam satu khutbah, "tetapi dengan adat, dengan bahasa, dan dengan akhlak." Maka sopan santun, takzim pada orang tua, gotong royong, musyawarah—semuanya harus hadir, tidak sekadar sebagai pelajaran moral, tetapi sebagai roh pendidikan.
Dr. Rozai percaya bahwa karakter tidak lahir dari hafalan ayat semata, melainkan tumbuh dari pengalaman, keterlibatan, dan keteladanan. Karena itu ia menggagas KKN lintas batas, pelatihan relawan dakwah, hingga dialog lintas budaya. Mahasiswa bukan hanya belajar, tetapi juga melayani. Tidak hanya mengerjakan tugas, tetapi juga menyentuh kehidupan.
Ia kritis pada pendidikan yang beku. “Guru bukan menara gading,” katanya dalam banyak forum. “Ia harus menjadi sahabat berpikir. Murid bukan tempat menuang, tetapi mata air yang harus dibuka.” Dalam pikirannya, andragogi Islam adalah dialog, bukan doktrin. Maka di ruang kelas IAITF, yang mengajar tak hanya berdiri di depan. Sering kali ia duduk sejajar, menyimak, menanggapi, membuka ruang bersama.
Salah satu hal paling menyentuh dari perjuangannya adalah betapa ia tak lelah menemui umat di mana pun mereka berada. Ia tidak membatasi dirinya hanya di podium akademik. Ia hadir di masjid-masjid kecil, di surau pinggiran kota, bahkan di lapas dan perkampungan marginal. Menyampaikan Islam dengan wajah ramah, bukan geram. Dengan bahasa sederhana, bukan penuh jargon. Ia sadar bahwa radikalisme dan kekeliruan tafsir sering lahir dari kehausan akan pemahaman yang lembut namun benar. Maka ia hadir, dengan qawlan layyina dan qawlan baligha.
Ia pun membuka jalan lebar bagi pendidikan kaum tertinggal dan perempuan. Ia tahu, sering kali yang paling membutuhkan ilmu adalah yang paling sedikit mendapatkannya. Maka beasiswa, program penguatan santri perempuan, anak yatim, dan kaum nelayan—semuanya jadi perhatian. Pendidikan baginya adalah jalan pembebasan, bukan sekadar tangga karier.
Di penghujung hidupnya, warisan pemikiran Dr. Rozai telah menjelma menjadi gerakan pendidikan transformatif yang tak lagi terkurung di ruang kelas. Ia menyatukan teks dan konteks, ilmu dan amal, akademik dan dakwah, dalam satu tarikan napas. Pendidikan, baginya, adalah ladang amal yang tak berbatas waktu—terus tumbuh meski sang penanam telah kembali ke haribaan Tuhan.***
Penulis: Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior, Penggiat Lingkar Pojok Literasi
Bangkopusako,22.00 WIB.4/7/2025
0 Response to "Jejak yang Tak Selesai di Tanah Ilmu dan Dakwah (Lanjutan Esai Reflektif untuk Mengenang Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H.)"
Posting Komentar