Mengenang Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H.: Ulama yang Dimakamkan di Tanah Ilmu yang Ia Dirikan




PAGI itu, Jumat 4 Juli 2025, Kota Dumai diselimuti mendung. Langit tidak meraung, tapi diamnya menggetarkan. Hujan tak turun deras, tapi air mata tak henti menetes dari wajah mereka yang kehilangan. Seorang guru telah pergi. Seorang ulama telah kembali ke asalnya. Seorang ayah ilmu telah disambut oleh cahaya yang ia kejar seumur hidupnya.

Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H., telah tiada.

Namun benarkah ia tiada?

Di halaman tanah kampus yang ia bangun dengan peluh dan doanya — IAITF Dumai — jasadnya kini berbaring tenang. Tapi nama dan ajarannya tak akan pernah mati. Kubur itu basah, tapi hati yang ditinggalkan jauh lebih basah — basah oleh duka, kenangan, dan rasa kehilangan yang tak terucapkan.

Ia dilahirkan pada 12 Oktober 1970 di Sungai Alam, Pulau Bengkalis — sebuah tempat yang ditiup angin pesisir dan dibelai oleh adat Melayu yang khidmat. Anak kelima dari tujuh bersaudara, buah hati pasangan H. Akbar Ali dan Hj. A’isyah binti Usman. Ia tumbuh dalam rumah yang sunyi dari harta tapi penuh dengan hikmah. Ibunya, dari garis keulamaan Aceh yang dikenal sebagai Aki Kuning, menanamkan satu hal yang tak pernah mati dalam dirinya: cinta kepada ilmu, dan takwa kepada Allah.

Hidupnya adalah kisah perjalanan yang tidak pernah ia akhiri. Belajar di MAN Pekanbaru, lalu IAIN Susqa (kini UIN Suska Riau), hingga menamatkan gelar doktor dalam bidang Ushul Fikih di tempat yang sama. Ia sempat mencicipi ATMA UKM Malaysia, tapi Allah punya takdir lain — bukan menyelesaikan gelar di sana, tapi menyelesaikan mimpinya di negeri sendiri.

Kampus IAITF Dumai adalah mimpi yang ia dirikan dengan hati. Bukan hanya institusi, tapi perahu dakwah yang berlayar di lautan zaman. Sejak 1999 ia bangun dari awal — dari tiang pertama, papan pertama, mahasiswa pertama. Dan sejak saat itu, ia tidak pernah menoleh ke belakang. Baginya, mengajar adalah ibadah yang tak boleh dijeda. Bahkan hingga akhir hayatnya, ia tetap menjadi Rektor — dan menjadi guru — sampai nafas terakhirnya pukul 05.40 pagi itu.

Orang-orang menyebutnya ulama. Tapi lebih dari itu, ia adalah penyambung harapan.

Dalam setiap khutbah dan ceramahnya, tidak ada suara tinggi. Tapi suaranya menggetarkan. Ia bicara tentang keadilan sosial, tentang toleransi, tentang pentingnya hidup sederhana dan bersih hati. Di ruang-ruang seminar, ia bukan hanya memberi teori, tapi membuka kesadaran. Dan di lorong-lorong kampus, ia menyapa mahasiswa dengan wajah cerah dan bahasa sederhana — layaknya ayah, layaknya sahabat, layaknya seorang pengasuh jiwa.

“Anda boleh salah masuk, tapi jangan salah keluar,” katanya pada mahasiswa baru. Tapi belakangan, kalimat itu ia sempurnakan:

“Anda tak boleh salah masuk, dan tak boleh salah keluar.”

Itu bukan sekadar ungkapan, tapi prinsip hidup. Bahwa masuk ke dunia ilmu adalah pilihan mulia, dan keluar dari dunia ilmu harus membawa misi — untuk umat, untuk kemanusiaan.

Ia bukan hanya Rektor. Ia imam di masjid. Pencerah di mimbar. Mediator dalam konflik. Pemersatu di tengah perbedaan. Sebagai Ketua MUI Kota Dumai, Ketua APTISI, dan penggagas Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM), ia menjelma bukan hanya sebagai tokoh formal, tapi jembatan kasih antara golongan. Antara umat. Antara langit dan bumi.

Ketika masjid hanya jadi tempat ritual bagi sebagian orang, ia mengubahnya menjadi tempat pemberdayaan. Ketika kuliah hanya jadi kewajiban akademik, ia sulap jadi ladang dakwah. Ketika media sosial jadi medan caci-maki, ia ubah jadi mimbar hikmah.

“Dakwah bukan sekadar ceramah,” katanya.

“Dakwah adalah kehidupan itu sendiri.”

Pemikirannya tidak bising, tapi dalam. Ia bicara tentang fikih kontekstual, dakwah maritim, Islam inklusif, moderasi beragama, dan pendidikan pembebasan. Dalam banyak kesempatan, ia tak pernah bosan mengingatkan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan meninabobokan. Harus menguatkan karakter, bukan sekadar menjejalkan teori.

Ia menjadikan kampus bukan hanya tempat belajar, tapi tempat merawat kemanusiaan. Mahasiswa bukan sekadar penerima ilmu, tapi penyambung risalah. Dari kampus ini, mereka diberangkatkan untuk KKN ke luar negeri, membangun desa, berdialog antariman, dan menyebarkan nilai Islam yang lembut — sebagaimana kelembutan tutur sang guru.

Hari itu, saat jenazahnya dishalatkan di masjid tempat ia biasa menjadi imam, hujan turun perlahan. Seperti pelayat langit. Alam seolah tahu, salah satu orang terbaiknya dipanggil pulang. Di halaman kampus, liang lahat pun digali — bukan untuk memenjarakan jasadnya, tapi untuk menanamkan kembali akar ilmu yang selama ini ia tebarkan.

Dari tempat saya berdiri, bulan sabit terlihat jelas — menelentang ke atas, seperti senyum langit yang penuh haru. “Lihat itu, luar biasa sahabat saya ini...” kata Datuk Isa Selamat, sahabat karibnya, lirih. Saya menoleh, dan mengangguk. Dalam hati saya berkata,

“Langit pun tahu, hari ini ia kehilangan seorang kekasih.”

Kini, kita hanya bisa mengenangnya. Tapi mengenang bukan berarti berhenti. Karena sesungguhnya, Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H. tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam cita-cita yang belum selesai. Dalam buku-buku yang belum rampung dibacakan. Dalam mahasiswa-mahasiswa yang masih berjuang. Dalam kampus yang belum naik status menjadi universitas. Dalam setiap mimpi kita — tentang Islam, tentang Melayu, tentang kemanusiaan.

Dan selama kita melanjutkan jejaknya, maka ia tidak mati.

Selama kita menghidupkan ilmunya, maka ia abadi.

Selamat jalan, Guru.

Di jalan yang engkau tempuh, semoga setiap langkahmu diterangi cahaya dari langit. Dengan ilmu yang kau wariskan, dengan cinta yang tak pernah padam. ***

Oleh: Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior, Pengiat Lingkar Pojok Literasi


0 Response to " Mengenang Dr. H. Ahmad Rozai Akbar, M.H.: Ulama yang Dimakamkan di Tanah Ilmu yang Ia Dirikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel