Pendekatan Ta’dibiyah dalam Pendidikan Islam

 


Oleh : Dawami, Dosen IAITF Dumai

PENDEKATAN ta’dibiyah dalam pendidikan Islam merupakan suatu pendekatan integral yang menekankan pembentukan manusia beradab (insān ādabī) melalui integrasi antara ilmu, iman, dan akhlak. Konsep ini digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai respons terhadap krisis epistemologis dalam pendidikan modern yang cenderung bersifat sekuler dan memisahkan antara ilmu dan nilai. Menurut Al-Attas (1980), pendidikan Islam sejati tidak hanya berkutat pada aspek transfer pengetahuan (ta‘līm) atau pengasuhan (tarbiyah), tetapi juga harus mencakup pembentukan adab. Adab mencakup kesadaran akan posisi dan tanggung jawab manusia dalam tatanan kosmik dan moral.

Implementasi pendekatan ta’dibiyah bertujuan membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan spiritual. Ulfah (2011) menegaskan bahwa pendekatan ini mencakup dimensi kognitif, afektif, dan spiritual secara menyeluruh, sehingga dapat menciptakan individu yang berkarakter mulia dan memiliki tanggung jawab sosial.

Dalam konteks pendidikan anak usia dini, pendekatan ta’dibiyah juga sangat relevan. Khasanah et al. (2023) mengemukakan bahwa konsep ta’dīb menurut Al-Attas dapat diterapkan sejak dini guna membentuk karakter yang kuat dan berakhlak. Pendidikan moral yang berbasis nilai-nilai adab menjadi solusi atas krisis karakter yang sering muncul pada tahap usia dini.

Lebih lanjut, dalam lingkungan pesantren, pendekatan ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan. Hasanuddin (2023) menunjukkan bahwa pembentukan karakter santri berbasis ruḥāniyyah melalui metode ta‘līm, tarbiyah, dan ta’dīb terbukti efektif dalam menciptakan individu yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual.

Dengan demikian, pendekatan ta’dibiyah menghadirkan paradigma pendidikan Islam yang holistik dan integratif. Ia menggabungkan unsur kognitif, afektif, dan spiritual, serta dapat diterapkan dalam berbagai jenjang dan bentuk pendidikan—baik formal, non-formal, maupun informal. Pendekatan ini menjadi penting dalam menjawab tantangan pendidikan modern dan dalam membentuk manusia yang utuh secara intelektual, moral, dan spiritual.

Tokoh Pemikir Utama Dalam Konsep Ta’dibiyah

1. Syed Muhammad Naquib al-Attas

Tokoh paling sentral dalam pengembangan konsep ta'dib sebagai fondasi pendidikan Islam. Kontribusi utama, Ia menggagas bahwa pendidikan Islam bukan sekadar "transfer ilmu" (tarbiyah) atau "pengajaran teknis" (ta'lim), tetapi adalah proses penanaman adab kepada manusia agar menjadi insan yang mengenal tempat dirinya di hadapan Allah, masyarakat, dan alam.

Dalam karyanya "The Concept of Education in Islam" (1980), al-Attas menyatakan: "Education is not merely the cultivation of the mind, but of the soul. The term 'ta’dib' implies the inculcation of adab as a form of justice in the self, thus education is a process of instilling adab." Ia membedakan ta’dib dari tarbiyah dan ta’lim, karena ta’dib lebih komprehensif, mencakup pengetahuan, akhlak, dan spiritualitas.

2. Wan Mohd Nor Wan Daud

Merupakan murid dan penerus pemikiran al-Attas. Dalam bukunya “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas” (1998), ia memperdalam konsep ta’dib dan mengusulkan penerapannya dalam kurikulum pendidikan Islam modern. Ia juga mengembangkan konsep integrasi ilmu dan adab, serta membela pendekatan ta’dib sebagai solusi atas krisis etika dan identitas dalam dunia Islam.

3. Taha Jabir Al-Alwani dan Al-Faruqi

Meskipun mereka lebih dikenal dengan konsep integrasi ilmu (Islamisasi ilmu), pendekatan mereka menyentuh dimensi adab dan etika yang sejalan dengan semangat ta’dib. Konsep adab al-‘alim wal-muta‘allim dalam tradisi klasik juga banyak dibahas oleh para ulama seperti Imam al-Ghazali (dalam Ayyuha al-Walad dan Ihya’ Ulumuddin).

Makna Dasar Ta’dibiyah

Konsep ta’dibiyah berasal dari kata Arab adaba–yu’addibu–ta’dīban yang secara etimologis berarti mendidik, menanamkan adab, atau memperbaiki akhlak. Dalam terminologi Islam klasik, ta’dib lebih dari sekadar pendidikan formal; ia mencakup pembentukan karakter dan pembiasaan etika yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas memposisikan ta’dib sebagai esensi pendidikan Islam, yaitu proses pembentukan manusia yang mengenal tempat dirinya di alam semesta, masyarakat, dan di hadapan Tuhannya. Ta’dibiyah, dengan demikian, merupakan pendekatan pendidikan yang menekankan pada internalisasi nilai-nilai adab sebagai pusat dari segala aktivitas pendidikan.

-       Dimensi Adab dalam Pendidikan

Dalam kerangka ta’dibiyah, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga untuk memurnikan jiwa dan membangun tata kelakuan yang luhur. Al-Attas menegaskan bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan untuk menghasilkan insan adabi — manusia yang beradab, yaitu manusia yang memiliki keseimbangan antara ilmu, iman, dan amal. Hal ini berbeda dari pendekatan Barat yang lebih menekankan pada kognisi semata. Pendidikan berbasis ta’dib mencakup dimensi spiritual, moral, dan sosial secara menyeluruh.

-       Ta’dib sebagai Solusi Krisis Etika

Pendekatan ta’dibiyah menjadi sangat relevan dalam menjawab krisis etika dan moral yang dihadapi oleh umat Islam di era globalisasi. Sistem pendidikan modern yang cenderung sekuler seringkali gagal menanamkan nilai-nilai etis yang mendalam. Oleh karena itu, pendekatan ta’dibiyah hadir sebagai alternatif integral untuk membina kepribadian Muslim yang utuh, dengan menggabungkan pengajaran ilmu, pembinaan akhlak, dan kesadaran spiritual. Pendidikan Islam yang mengadopsi nilai ta’dib akan mampu membentengi peserta didik dari arus globalisasi yang destruktif.

-       Integrasi antara Ilmu dan Adab

Salah satu keunggulan konsep ta’dibiyah adalah penyatuannya antara ilmu pengetahuan dan nilai adab. Dalam pandangan Islam, ilmu tidak pernah netral — ia harus selalu diarahkan pada kemaslahatan dan keberkahan. Karena itu, proses pendidikan harus menjadikan adab sebagai bingkai moral dalam pengembangan ilmu. Pendidikan yang hanya mengejar pengetahuan tanpa adab akan menciptakan individu yang pintar tetapi tidak bijak. Maka, adab bukan sekadar pelengkap, tetapi merupakan bagian integral dari epistemologi Islam.

-       Aplikasi Konsep Ta’dibiyah dalam Lembaga Pendidikan

Implementasi konsep ta’dibiyah dalam pendidikan formal membutuhkan rekonstruksi kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan ilmu. Hal ini telah diupayakan oleh beberapa institusi seperti ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), yang didirikan oleh al-Attas. Dalam praktiknya, ta’dibiyah bukan hanya pendekatan teoritis, tetapi juga praksis dalam budaya sekolah, metode pengajaran, dan hubungan guru-murid. Pendidikan dengan pendekatan ini mendorong terjadinya proses pembelajaran yang transformatif secara moral dan spiritual.

Pengertian Ta’dib dalam Pendidikan Islam

Ta’dib secara etimologis berasal dari kata Arab adaba–yu’addibu–ta’dīban yang berarti mendidik, melatih adab, dan membentuk kepribadian yang baik. Dalam tradisi keilmuan Islam, ta’dib bukan hanya sekadar proses transfer ilmu, tetapi merupakan suatu sistem pembinaan manusia agar memiliki ilmu, amal, dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa ta’dib adalah proses pengenalan secara berurutan terhadap tempat yang tepat bagi segala sesuatu, dalam tatanan wujud dan makna, sehingga seseorang mampu menempatkan dirinya, orang lain, dan segala yang ada, sesuai dengan kedudukan yang benar. Maka, ta’dib memadukan antara dimensi kognitif, afektif, dan spiritual secara utuh.

-       Konsep Sanad dalam Tradisi Ilmu Islam

Sanad, dalam konteks keilmuan Islam, merujuk pada rantai transmisi ilmu yang bersambung hingga kepada sumber utama, yaitu Rasulullah SAW. Sanad menjadi jaminan autentisitas ilmu, serta menegaskan bahwa proses pendidikan dalam Islam bersifat living tradition, yakni diwariskan dari guru ke murid secara langsung dengan tanggung jawab keilmuan dan moral. Menurut Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, keberadaan sanad bukan hanya penting dalam periwayatan hadits, tetapi juga dalam transmisi ilmu dan adab. Sanad menjadikan proses belajar bukan sekadar perolehan informasi, tetapi juga internalisasi nilai-nilai adab dari guru kepada murid.

-       Adab sebagai Tujuan dan Bingkai Pendidikan

Dalam Islam, adab memiliki posisi sentral sebagai jiwa dari pendidikan. Adab bukan hanya kesantunan atau tata krama, melainkan cara pandang dan tata sikap yang bersumber dari tauhid, yang menuntun manusia untuk mengenal hakikat dirinya, Tuhan, dan alam semesta. Pendidikan yang berorientasi pada adab akan melahirkan insan berilmu yang tahu diri dan tidak melampaui batas. Menurut al-Attas, krisis utama umat Islam hari ini bukanlah kebodohan, melainkan kehilangan adab (loss of adab), yaitu rusaknya hierarki nilai dan pengabaian terhadap otoritas ilmu. Oleh sebab itu, pendidikan Islam harus menempatkan adab sebagai tujuan utama sekaligus bingkai metodologis.

-       Hubungan Ta’dib, Sanad, dan Adab dalam Keutuhan Pendidikan

Ketiganya—ta’dib, sanad, dan adab—membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan Islam. Ta’dib adalah kerangka filosofis dan pedagogis, sanad adalah sistem transmisi dan legitimasi, sementara adab adalah hasil yang diharapkan dari proses tersebut. Pendidikan yang berbasis pada tiga unsur ini tidak hanya mencetak individu cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan spiritual. Dalam era modern yang kerap memisahkan ilmu dari nilai, pendekatan ini menjadi tawaran penting untuk membangun kembali sistem pendidikan yang utuh, menyeluruh, dan berkeadaban.

Pengertian Ta’dib dan Realisasinya

Konsep ta’dib berasal dari akar kata Arab adaba yang berarti berperilaku baik, sopan, dan beradab. Dalam konteks pendidikan Islam, ta’dib tidak hanya dimaknai sebagai pembentukan akhlak, tetapi mencakup keseluruhan proses penanaman ilmu yang disertai dengan internalisasi nilai-nilai ilahiyah, moral, dan spiritual dalam diri peserta didik. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (1999), ta’dib adalah proses pengenalan dan pengakuan terhadap tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan wujud, sehingga menghasilkan adab pada diri seseorang. Dengan kata lain, ta’dib adalah proses holistik yang mencakup pembentukan intelektual, spiritual, dan moral dalam satu kesatuan sistem pendidikan Islam.¹

Dalam realisasinya, pendidikan Islam berbasis ta’dib tidak semata-mata bertujuan mencetak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Pendidikan semacam ini menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu, yaitu sikap hormat terhadap ilmu, guru, sesama murid, dan sumber-sumber ilmu itu sendiri. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din juga menyebutkan bahwa adab adalah syarat utama dalam pencapaian ilmu yang bermanfaat dan keberkahan dalam proses pendidikan.²

Secara praksis, implementasi ta’dib dapat dilakukan melalui integrasi nilai-nilai tauhid dalam kurikulum, penanaman akhlak mulia sejak dini, serta keteladanan para pendidik dalam bersikap dan berkomunikasi. Ta’dibiyah menolak sekularisasi pendidikan, dan sebaliknya menegaskan pentingnya kesatuan antara ilmu dunia dan ukhrawi. Dalam pandangan Hasan Langgulung (1986), pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk kepribadian Islami yang selaras antara jasmani dan ruhani.³

Dengan demikian, ta’dib bukan sekadar komponen tambahan dalam sistem pendidikan Islam, tetapi fondasi epistemologis sekaligus arah tujuan pendidikan itu sendiri. Ia memastikan bahwa proses belajar mengajar tidak terlepas dari nilai-nilai keislaman, adab, dan hikmah, sehingga melahirkan generasi yang tidak hanya pandai, tetapi juga berakhlak dan berperadaban.

Konsep Sanad dalam Pemikiran dan Pengembangannya

Konsep sanad dalam tradisi Islam awalnya merujuk pada mata rantai periwayatan hadits, yaitu rangkaian nama perawi yang menghubungkan suatu teks (matn) hadits dengan Rasulullah SAW. Namun, secara lebih luas, sanad mencerminkan otoritas keilmuan yang sah, keaslian transmisi ilmu, dan integritas seorang guru dalam mengajarkan ilmu yang benar. Dalam dunia pendidikan Islam, sanad menjadi simbol penting dari keberlanjutan otentik pengetahuan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang tidak sekadar bersifat kognitif, tetapi juga bersifat spiritual dan moral (Azra, 2013).

Penghormatan terhadap sanad dalam pendidikan Islam sejatinya adalah bentuk penghargaan terhadap guru dan tradisi keilmuan. Seorang murid tidak dianggap berhak menyampaikan ilmu atau mengajarkan suatu disiplin sampai ia mendapatkan izin (ijazah) dari gurunya—suatu bentuk ta’dib dan adab dalam proses transmisi ilmu (Al-Attas, 1999). Dalam sejarah Islam, institusi seperti pesantren dan madrasah tradisional memegang prinsip sanad secara ketat, terutama dalam bidang tafsir, fiqih, dan hadits. Para ulama seperti Imam Bukhari, Al-Ghazali, hingga Imam Nawawi memiliki silsilah keilmuan yang jelas sampai kepada Rasulullah SAW.

Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, gagasan sanad mengalami tantangan dengan hadirnya pendidikan modern berbasis kurikulum instan dan seringkali kehilangan dimensi spiritual serta adab keilmuan. Oleh karena itu, beberapa pemikir pendidikan Islam modern seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, M. Amin Abdullah, dan Wan Mohd Nor Wan Daud menekankan pentingnya menghidupkan kembali nilai sanad dalam pendidikan sebagai bagian dari pengembalian ruh keilmuan Islam. Sanad bukan sekadar dokumentasi, tetapi penjamin kesinambungan nilai, etika, dan adab dalam ilmu (Wan Daud, 2010).

Penerapan sanad dalam pendidikan juga menuntut adanya pembinaan karakter, bukan hanya kemampuan akademik. Hubungan guru-murid tidak hanya dibatasi oleh ruang kelas, tetapi diikat oleh kasih sayang, penghormatan, dan keteladanan. Dengan demikian, pengembangan sanad dalam pendidikan Islam modern bisa dilakukan melalui sistem mentoring, halaqah, dan pengakuan terhadap otoritas ilmiah yang diakui secara sanad keilmuan, bukan hanya gelar akademik semata.

Oleh karena itu, relevansi sanad dalam dunia pendidikan Islam hari ini sangat penting untuk mengembalikan pendidikan kepada akar tradisi keilmuan yang penuh adab, bertanggung jawab, dan berintegritas. Ini juga menjadi cara untuk melawan krisis otoritas dan maraknya penyebaran ilmu instan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan maupun moral.

Konsep Adab dalam Pendidikan Islam

Dalam khazanah pemikiran Islam, adab merupakan konsep kunci yang bukan hanya bermakna kesopanan atau etika lahiriah, tetapi mencakup keseluruhan tata sikap batin dan lahir manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan, sesama manusia, ilmu, dan alam semesta. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1999) menyebut adab sebagai pengenalan dan pengakuan terhadap tempat yang tepat bagi sesuatu dalam tatanan wujud, sehingga membentuk perilaku yang adil terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu. Dengan kata lain, adab adalah landasan moral yang mengatur perilaku manusia berdasarkan tauhid dan kesadaran spiritual.

Dalam konteks pendidikan Islam, adab bukan hanya aspek pelengkap, melainkan inti dari proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mencerdaskan akal (ta‘lim), tetapi juga menyucikan jiwa dan membentuk karakter mulia (ta’dib). Menurut al-Attas, krisis dalam pendidikan modern terletak pada hilangnya adab yang menyebabkan kekacauan ilmu (confusion of knowledge) dan runtuhnya otoritas keilmuan. Oleh karena itu, adab menjadi syarat mutlak dalam memperoleh dan menyampaikan ilmu agar tidak menyimpang dari kebenaran hakiki (Al-Attas, 1999).

Implementasi konsep adab dalam dunia pendidikan mencakup hubungan antara murid dan guru, cara memperoleh ilmu, serta sikap terhadap ilmu itu sendiri. Seorang murid harus menunjukkan rasa hormat kepada gurunya, bukan karena status sosial, tetapi karena gurulah yang menjadi perantara penyampaian cahaya ilmu. Adab juga mencakup keikhlasan dalam belajar, menjauhi kesombongan intelektual, dan menjaga amanah dalam menyampaikan ilmu.

Lebih jauh lagi, adab tidak hanya berkaitan dengan hubungan interpersonal, tetapi juga menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat beradab (civilized society). Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menempatkan ilmu, keadilan, dan keikhlasan di atas kepentingan duniawi. Dengan demikian, penguatan nilai adab dalam pendidikan merupakan langkah strategis untuk membangun peradaban Islam yang kokoh, humanis, dan berorientasi pada kebaikan bersama.

Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah satu tokoh intelektual Muslim kontemporer yang pemikirannya banyak memengaruhi paradigma pendidikan Islam modern. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah konsep ta’dib sebagai kerangka utama pendidikan Islam. Bagi al-Attas, pendidikan Islam tidak sekadar proses transfer pengetahuan (ta’līm) atau pembinaan karakter moral (tarbiyah), melainkan proses integratif yang disebut sebagai ta’dīb—yakni pembentukan manusia beradab yang mengetahui dan menempatkan sesuatu pada tempatnya secara tepat, baik dalam konteks intelektual, spiritual, maupun sosial (al-Attas, 1980).

Al-Attas menekankan bahwa krisis umat Islam bukan hanya terletak pada aspek ekonomi atau politik, melainkan pada krisis adab. Kehilangan adab menurutnya adalah akar dari penyimpangan ilmu, penyalahgunaan otoritas, dan kekacauan dalam tata nilai masyarakat Muslim. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan untuk memulihkan adab melalui proses yang melibatkan ilmu, hikmah, dan akhlak (Wan Daud, 1998).

Pendidikan menurut al-Attas harus berpijak pada worldview Islam yang integral dan tidak dikotomis. Ilmu tidak dianggap netral, tetapi memiliki muatan etika dan orientasi terhadap kebenaran Ilahi. Ia menolak sekularisasi ilmu pengetahuan yang memisahkan antara wahyu dan akal. Dalam pandangannya, Islamisasi ilmu adalah proses mengembalikan makna ilmu ke dalam kerangka tauhid dan mengintegrasikan antara akal dan wahyu dalam pencarian ilmu (Al-Attas, 1995).

Tujuan akhir pendidikan dalam pandangan al-Attas adalah pembentukan insan yang baik (al-insān al-ṣāliḥ), bukan sekadar warga negara yang produktif. Insan yang baik adalah pribadi yang memiliki ilmu yang benar, berakhlak mulia, dan mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan demikian, pendidikan bukan semata untuk kepentingan duniawi, melainkan untuk mengantar manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah) di dunia dan akhirat (Zarkasyi, 2021).

Relevansi Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang pendidikan Islam memiliki relevansi yang sangat mendalam terhadap problematika pendidikan kontemporer, terutama dalam konteks krisis moral, degradasi etika, dan disorientasi tujuan pendidikan. Dalam dunia yang semakin mengagungkan pencapaian material dan kemajuan teknologi, pendidikan sering kali terjebak pada orientasi pragmatis dan sekularistik—menekankan keterampilan teknis dan penguasaan sains tanpa membentuk kepribadian yang utuh dan beradab. Al-Attas mengingatkan bahwa pendidikan yang sejati bukan hanya mencetak manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk insan yang memiliki adab, yaitu mampu menempatkan sesuatu secara tepat sesuai dengan hakikatnya dalam sistem kehidupan Islam (al-Attas, 1980).

Krisis adab yang diidentifikasi oleh al-Attas terbukti aktual dalam sistem pendidikan saat ini. Banyak kasus kekerasan di sekolah, penyalahgunaan ilmu untuk kepentingan yang merusak, dan lemahnya kesadaran spiritual siswa dan pendidik menjadi cerminan dari hilangnya ruh etis dalam pendidikan. Konsep ta’dib, yang ia tawarkan, menekankan pentingnya integrasi antara ilmu dan nilai-nilai spiritual Islam, serta pentingnya menanamkan kesadaran akan tanggung jawab moral dan sosial peserta didik. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi sebagai instrumen membentuk manusia yang sadar akan peran dirinya sebagai khalifah di bumi (Wan Daud, 1998).

Di tengah arus globalisasi dan hegemoni ilmu Barat yang cenderung sekular, konsep Islamisasi ilmu yang digagas oleh al-Attas menjadi sangat relevan. Ia menegaskan pentingnya mereformasi epistemologi pendidikan agar selaras dengan worldview Islam. Dengan kata lain, ilmu harus dipahami tidak hanya sebagai produk logika dan eksperimen, tetapi sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah SWT. Proses pendidikan yang mengabaikan dimensi wahyu akan menghasilkan insan yang terpisah dari nilai ilahiah dan rentan terhadap krisis eksistensial (Zarkasyi, 2021).

Pemikiran al-Attas juga sangat strategis dalam reformasi kurikulum pendidikan Islam. Dalam praktiknya, kurikulum pendidikan Islam di banyak tempat masih bersifat dualistik: memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Al-Attas menawarkan pendekatan integratif, di mana seluruh cabang ilmu diarahkan kepada penguatan keimanan dan pembentukan akhlak. Dengan pendekatan ini, seluruh aktivitas belajar menjadi sarana ibadah, dan ilmu menjadi alat untuk mencapai sa‘ādah (kebahagiaan sejati) dunia dan akhirat (Nasr, 2010).

Akhirnya, pemikiran al-Attas membuka ruang untuk memperbarui metodologi pendidikan Islam berbasis nilai. Guru tidak lagi hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai murabbi dan muaddib—pendidik yang menjadi teladan dan pembina akhlak. Relevansi ini menjadi sangat penting mengingat tantangan pendidikan modern yang kini semakin sarat dengan konten, tetapi miskin makna. Oleh karena itu, integrasi konsep ta’dib dalam kurikulum dan sistem pendidikan nasional menjadi kebutuhan mendesak dalam upaya membangun generasi yang cerdas dan beradab.

Konsep Ta’dibiyah Menghadapi Globalisasi

Globalisasi telah membawa berbagai tantangan dalam dunia pendidikan Islam, seperti krisis identitas, sekularisasi nilai, dan disorientasi tujuan hidup generasi muda. Dalam menghadapi fenomena ini, konsep ta’dibiyah—yang dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas—menawarkan pendekatan pendidikan yang integral, yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan adab sebagai pondasi kepribadian muslim. Ta’dib secara mendasar bermakna penanaman adab, yaitu kemampuan untuk menempatkan sesuatu secara tepat, sesuai dengan hikmah dan nilai Islam (al-Attas, 1980). Dalam konteks globalisasi, ketika arus informasi sangat cepat dan nilai-nilai Barat mendominasi media, konsep ta’dib berfungsi sebagai filter etis dan epistemologis agar peserta didik tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas spiritual dan moral.

Konsep ini sangat relevan untuk membendung dampak negatif globalisasi, seperti konsumerisme, liberalisme pemikiran, dan dekadensi moral. Ta’dibiyah mengajarkan bahwa ilmu tidak netral, tetapi harus diarahkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Pendidikan harus melahirkan insan kamil, yaitu manusia paripurna yang memahami peran dirinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi (Wan Daud, 1998). Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam perlu menata kembali orientasinya—dari sekadar pencapaian akademik menuju proses pembentukan manusia beradab yang berlandaskan nilai tauhid. Dalam dunia yang semakin cair secara budaya dan nilai, pendidikan berbasis ta’dib menjadi strategi penting untuk membentuk generasi yang memiliki ketahanan akhlak dan mampu berperan aktif di tengah masyarakat global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai Muslim.

KESIMPULAN

Konsep pendidikan Islam berbasis ta’dibiyah yang digagas oleh pemikir besar seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan fondasi yang kokoh dalam membangun peradaban Islam yang bermartabat dan beretika. Dalam konteks era globalisasi yang sarat dengan tantangan—seperti dekadensi moral, sekularisasi nilai, dan dominasi narasi Barat—ta’dib hadir sebagai pendekatan pendidikan yang tidak hanya mentransmisikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan kepribadian berlandaskan nilai tauhid.

Pilar-pilar utama peradaban Islam seperti tauhid, ilmu, akhlak, keadilan, dan ukhuwah menjadi semakin relevan untuk dikembalikan ke pusat sistem pendidikan. Ta’dibiyah tidak hanya memperbaiki metode pengajaran, tetapi juga memperkuat kerangka epistemologis dan etis pendidikan Islam agar mampu menghasilkan generasi yang beradab, bijak secara spiritual, dan tangguh menghadapi tekanan globalisasi. Oleh karena itu, pendidikan Islam perlu direvitalisasi dengan menempatkan adab sebagai elemen kunci dalam seluruh proses komunikasi pendidikan.

SARAN DAN REKOMENDASI

-       Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan Islam di berbagai jenjang perlu mengintegrasikan pendekatan ta’dibiyah ke dalam kurikulum, dengan menekankan pada pembentukan adab, penguatan nilai tauhid, dan kesadaran spiritual sebagai basis pembelajaran.

-       Pelatihan Guru dan Dosen Berbasis Ta’dib

Para pendidik harus mendapatkan pelatihan berkelanjutan mengenai pendekatan ta’dib, agar mampu menjadi model teladan dalam perilaku, etika, dan cara berkomunikasi kepada peserta didik.

-       Penguatan Literasi Media Islami

Dalam menghadapi tantangan globalisasi digital, penting untuk meningkatkan literasi media yang selaras dengan etika Islam agar peserta didik mampu bersikap kritis terhadap informasi serta menjaga adab dalam dunia maya.

-       Pengembangan Riset Pendidikan Ta’dibiyah

Diperlukan lebih banyak riset ilmiah yang mendalami penerapan konsep ta’dib dalam berbagai bidang pendidikan, termasuk komunikasi, psikologi pendidikan, dan manajemen pendidikan Islam.

-       Kolaborasi Antar-Lembaga Pendidikan Islam Internasional

Kolaborasi akademik lintas negara dalam bidang pengembangan pendekatan ta’dib perlu diperluas untuk membentuk kesatuan visi dalam membangun peradaban Islam yang unggul dan beradab secara global.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, S. M. N. (1980). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (1999). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education (revised). Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Ghazali, A. H. M. (2000). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Khatib al-Baghdadi. (2004). al-Jāmi’ li Akhlāq ar-Rāwi wa Ādāb as-Sāmiʿ. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Asy’ari, M. (2022). Relevansi sanad ilmu dan pembentukan adab dalam pendidikan Islam. Jurnal Tarbiyatuna, 13(1), 77–92.

Azra, A. (2013). Islam Nusantara: Jaringan global dan lokal. Jakarta: Mizan.

Hasanuddin. (2023). Pembentukan karakter santri berbasis ruhaniah melalui metode ta’līm, tarbiyah dan ta’dīb di pondok pesantren. Jurnal Kependidikan Media, 5(2), 45–60. https://journal.unismuh.ac.id/index.php/media/article/view/17552

Huda, N., & Abidin, Z. (2022). Konsep adab dalam pendidikan Islam perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Jurnal Studi Islam dan Pendidikan, 5(1), 23–34.

Khasanah, L., Sakti, M. D. A. B., Al Faruqi, A. R. H., Purwaningtyas, D. A., & Patimah, P. (2023). Konsep ta’dīb menurut Al-Attas sebagai solusi pendidikan moral usia dini. Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, 12(2), 134–148. https://doi.org/10.32832/tadibuna.v12i2.8544

Langgulung, H. (1986). Manusia dan pendidikan: Suatu analisa psikologi dan pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna.

Nasr, S. H. (2010). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom, Inc.

Saeed, A. (2022). Revisiting Islamic educational philosophy in contemporary context. Journal of Islamic Thought and Civilization, 12(1), 55–72.

Ulfah, M. (2011). Implementasi konsep ta’dīb dalam pendidikan Islam untuk mewujudkan siswa yang berkarakter. Jurnal Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan dan Pengajaran, 12(1), 106–116. https://doi.org/10.22373/jid.v12i1.441

Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An exposition of the original concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.

Wan Daud, W. M. N. (2010). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An exposition of the original concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.

Yusuf, M. (2023). Ta’dib sebagai kerangka pendidikan etika dalam Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 101–115.

Zarkasyi, H. F. (2021). Revisiting Syed Muhammad Naquib Al-Attas’ concept of education. Tafhim: IKIM Journal of Islam and the Contemporary World, 14(1), 25–40.

Zubaidah, S., & Arif, M. (2021). Implementasi nilai adab dalam pendidikan Islam berbasis konsep ta’dib. Tafkir: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 14(1), 45–62.

0 Response to "Pendekatan Ta’dibiyah dalam Pendidikan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel