Tamadun Melayu sebagai Cermin Kehidupan Kontemporer: Dari Warisan ke Aksi Nyata

 


SEBAGAI mahasiswa yang hidup di kawasan Asia Tenggara, khususnya di wilayah yang tergolong dalam Alam Melayu, saya memaknai konsep "Alam Melayu" tidak hanya dalam batasan geografis yang meliputi Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, dan bagian selatan Thailand dan Filipina, tetapi lebih dari itu—sebagai ruang tamadun yang dinamis. Alam Melayu adalah ruang peradaban yang telah lama menjadi pusat interaksi budaya, perdagangan, dan penyebaran agama, terutama Islam. Dinamika peradaban ini tampak dari bukti sejarah seperti kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Melaka, hingga Kesultanan Riau-Lingga yang memperlihatkan bagaimana budaya Melayu membentuk pola hidup, bahasa, hukum, dan sistem sosial masyarakatnya (Andaya, 2023).

            Pemahaman tentang Alam Melayu sebagai tamadun membuat saya menyadari bahwa kebudayaan bukanlah entitas yang statis, tetapi selalu berkembang sesuai konteks zamannya. Ketika saya mengunjungi Masjid Kampung Hulu di Melaka dalam program KKN Internasional, saya menyaksikan bagaimana unsur budaya, sejarah, dan spiritualitas berpadu menjadi satu simbol identitas Melayu. Masjid tua itu bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan pendidikan, menunjukkan bahwa tamadun Melayu memiliki fondasi kuat dalam aspek keilmuan dan moral (Yusof, 2022). Di sinilah saya memahami bahwa tamadun Melayu bukan warisan mati, melainkan warisan hidup yang terus berfungsi dalam membentuk karakter masyarakat.

            Bagi saya pribadi, makna Tamadun Melayu sebagai mahasiswa adalah kesadaran identitas dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Di tengah globalisasi dan arus budaya asing yang begitu deras, tamadun Melayu menjadi jangkar yang meneguhkan jati diri kita. Nilai-nilai seperti adab, musyawarah, tolong-menolong, serta hormat kepada yang tua merupakan nilai-nilai universal yang telah lama dijunjung tinggi dalam masyarakat Melayu. Dalam kehidupan kampus, saya melihat nilai ini tercermin dalam kegiatan organisasi mahasiswa, di mana keputusan penting selalu diambil melalui musyawarah dan pertimbangan kolektif, bukan semata-mata berdasarkan kekuasaan (Haron & Ahmad, 2024).

            Pentingnya generasi muda memahami dan menghidupkan kembali nilai-nilai tamadun Melayu dalam kehidupan kontemporer tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan sejarah dan identitas. Tanpa kesadaran sejarah, generasi muda akan tercerabut dari akar budayanya dan mudah larut dalam budaya luar yang tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai lokal. Sebagai contoh, ketika kita menghidupkan kembali tradisi pantun atau syair dalam bentuk digital melalui media sosial, kita sedang melakukan proses adaptasi budaya yang kontekstual dan relevan. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai tamadun Melayu dapat hidup berdampingan dengan perkembangan zaman, asalkan dimaknai dan dikembangkan dengan cara yang tepat (Zamri & Mahmud, 2023).

            Sebagai penutup, memahami Alam Melayu sebagai tamadun adalah sebuah langkah strategis untuk membangun kesadaran budaya, memperkuat identitas, dan menanamkan rasa tanggung jawab terhadap warisan leluhur. Melalui pelestarian nilai dan kebijaksanaan lokal, kita tidak hanya menghargai masa lalu, tetapi juga mempersiapkan masa depan yang lebih bermakna. Maka, tugas kita sebagai mahasiswa adalah menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, menjaga agar tamadun Melayu tetap hidup dalam denyut kehidupan masa kini.  ***


Daftar Pustaka 

Andaya, B. W. (2023). A history of early modern Southeast Asia, 1400–1830. Cambridge University Press.

Haron, N., & Ahmad, Z. (2024). Revitalizing Malay civilization values among youth: A sociocultural    approach. Journal of Malay Studies, 10(1), 23–35.

Yusof, M. F. (2022). Masjid Kampung Hulu dan peranannya dalam pendidikan masyarakat Melayu di    Melaka. Jurnal Warisan Melayu, 18(2), 50–67.

Zamri, S. A., & Mahmud, R. (2023). Digitalisasi puisi tradisional dalam kalangan generasi muda            Melayu. International Journal of Malay Cultural Studies, 7(1), 12–25.


PROFIL PENULIS: 

Dawami adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara, putra dari pasangan Busri dan Rubiah—dua sosok orang tua yang senantiasa menanamkan nilai hidup untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Perjalanan pendidikannya dimulai dari lingkungan pesantren, lalu berlanjut ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) untuk jenjang S1 dan S2. Saat ini, ia tengah menempuh studi doktoral (S3) di UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Sebelum menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Dumai, Dawami menapaki dunia jurnalistik selama hampir 25 tahun. Ia memulai kariernya dari bawah di salah satu tabloid politik anak perusahaan Riau Pos Grup bernama Watan, tempat ia mengasah naluri menulis panjang dalam bentuk investigasi reporting dan feature yang menjadi kekuatannya. Perlahan namun pasti, ia dipercaya menduduki berbagai posisi strategis—mulai dari Pemimpin Redaksi, Manajer Pemasaran, hingga menjabat sebagai Deputy General Manager (GM). Perpaduan antara pengalaman panjang di dunia media dan gairah akademik menjadikan hidupnya sebagai ruang pembelajaran tanpa henti, dengan komitmen kuat untuk terus berbagi manfaat melalui ilmu dan tulisan.




0 Response to "Tamadun Melayu sebagai Cermin Kehidupan Kontemporer: Dari Warisan ke Aksi Nyata"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel