ALohong, CIntaKu di Tanah Rupat (4))



SIULAN anak pulau itulah yang membedakan kehidupan masyarakat tinggal dan mengantung hidup dengan laut dan orang darat. Bahwa laut tak ada batas, siapa pun bisa melempar jaring, mengail dan melempar jala. Sambil bersiul dan bersendirian di malam hari hingga menyantak dini hari adalah rutinitas dijalani.  Begitu fajar terbit, sudah sampai dibangliou, tempat penampungan atau disambut mak serta orang kampung untuk membeli hasil tangkapan.


Dan biasanya, mak lah yang paling sibuk untuk menanding atau menjinjit ikan satu persatu dengan menggunakan daun nipah. Atau hanya sekedar dionggok-onggokkan sesuai jenis ikan atau sesuai selera mak sehingga ikan bisa laku.

Dan jangan heran pula,  kalau orang di kawasan pesisir. Tradisi kalau ngopi di pagi hari bisa berjam-jam lamanya. Tersebab malamnya sudah mengais rezeki dan bergadang  menunggu dan mengangkat jaring ikan. Entah dengan merawai, menjaring atau mengail sekalipun.

Beda kehidupan masyarakat atau orang di darat. Batas ruang dan tempat kepemilikan diikat dengan jelas. Rasa gotong royong adalah menjadi nilai keakraban yang mengikat satu dan lainnya dalam satu kelompok sehingga membentuk persukuan dan keakraban.

Dilaut, cukup berkawan siulan dengan bintang gemintang dan membaca narasi birunya langit maka rezeki dan bahaya bisa satu kata. Alamlah yang mengajari arti makna hidup sesungguhnya.

Cita-cita dan harapan itulah yang menjadi mimpi abah pada anak laki-lakinya. Alohong sangat paham dengan harapan, abahnya.

"Suatu saat kamu harus arungi laut besar ini. Banyak belajarlah darinya, maka ia akan memberikan banyak jawaban dari arti kehidupan itu sendiri," begitulah kata abah dalam satu ketika saat menarik jaring di Kuala Selat Morong.

Bagi, abah, Selat Melaka memiliki arti sebuah harapan besar yang harus ditaklukkan oleh generasi ke generasi dari anak-anak yang dibesar dari rahim aliran dan alur Selat Morang dan Pulau Rupat. Maka taklah salah, kalau abah dalam sebuah kesempatan, kami sempat melarikan sampan yang tertambat di jambatan kampung. Hingga kami, akhirnya bisa sampai ke Kuala Selat Morong dan terlihat dengan jelas birunya air Selat Melaka. Untung saja, tak musim gelombang.

Apakah abah marah? ,"Tidak " abah hanya bilang ,"Jangan sampai rusak sampan, tambat lagi dan jangan sore-sore,"  cuma itulah jawabannya.

Padahal, waktu begitu pak Long Seman memberi tahu bahwa nampak kami di Kuala Selat. Aku sudah, tak tahu.macam mana nak melarikan diri dan tak sanggup melihat Abah. Saat itu, hanya bisa tertunduk bisu dan takut.

"Ooo, jadi dah sampai ke kuale, Lohong ," begitulah cekutai mulut mak. Dari menyebut yang nampak sampai dengan menyebut yang tak nampak.

"Biolah, asal hati-hati," begitulah kata abah.

Akupun tersenyum. "Abah, tak marah " itulah jawaban dalam hati kecil Ku. Sejak itu, aku dan kawan-kawan akan mewujudkan mimpi ke tempat yang namanya Tanjung Kuala Burung. Sambil itu. Kami pun sudah berhayal, apa yang akan kami lakukan disana. Ada yang mengusulkan tidur semalam, ada yang mau menjerat semua burung dan ada yang nau mancing semalaman.

"Aku mau, dimana dari tanjung ini. Kita semua bisa menjerat kapal-kapal yang.lewat. Dan akan aku tambat di Kuala Tanjung Kepala Burung, ini," gurau Alohong dan disambut dengan gelak tawa terpintal-pintal kawannya.

"Biar aku yang susun strategi, bagaimana mereka mau merapat di kuala Selat Morong. Maka disitulah kita jerat dan kapalnya kita ambil sehingga kita punya kapal besar dan bisa belayar kemana suka dikawasan ini. Bagaimana mantap," gitulah gurauan dan khayalan mereka kalau sudah ngumpul. Hal-hal yang remeh temeh juga jadi serius dan habis tu, ujung-ujungnya terjun ke sungai mandi atau membawa kail pergi mancing diujung jambatan kampung. ***

*Penulis: Dawami. S.Sos, M.I.Kom, Dosen IAITF Dumai, Pengiat Lingkar Pojok Literasi

0 Response to "ALohong, CIntaKu di Tanah Rupat (4))"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel