Etika Profesi dan Adab Masyarakat Modern (Komaruddin Hidayat)


        DALAM  lintasan sejarah pemikiran Islam, isu tentang adab selalu menjadi pilar penting dalam membentuk kualitas pribadi sekaligus peradaban. Dalam konteks masyarakat modern, para cendekiawan seperti Komaruddin Hidayat menempatkan adab sebagai fondasi moral bagi manusia yang hidup dalam dunia yang semakin kompleks dan rasional. Filsafat keberagamaan modern yang ia jelaskan bukan hanya membahas hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya melalui prinsip etika, tanggung jawab, dan kematangan spiritual. Dengan demikian, adab bukan sekadar persoalan kesalehan personal, melainkan sistem nilai yang membimbing manusia untuk hidup bermartabat dalam realitas sosial yang terus berubah (Hidayat, 2006).

        Filsafat keberagamaan modern memandang agama sebagai energi moral yang harus menuntun peradaban, bukan hanya sebagai sistem ritual. Cara pandang ini menolak pemahaman yang memposisikan agama sebagai kekuatan yang terpisah dari kehidupan publik. Sebaliknya, agama—dengan spiritualitas dan nilai etikanya—harus hadir sebagai panduan dalam ruang-ruang profesional, sosial, dan politik. Menurut perspektif ini, modernitas tidak boleh dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk mengekspresikan nilai-nilai keagamaan secara lebih kreatif dan kontekstual (Hidayat, 2017). Dalam kerangka inilah, adab menjadi simpul yang menyatukan dimensi iman, kemanusiaan, dan profesionalisme.

        Salah satu fokus pemikiran Komaruddin Hidayat adalah pentingnya internalisasi adab dalam aktivitas bekerja dan berprofesi. Di tengah kompetisi global dan tekanan kapitalisme modern, etika kerja sering kali direduksi menjadi sekadar produktivitas atau efisiensi teknis. Padahal, dalam pandangan Islam, bekerja adalah ibadah, dan ibadah selalu mensyaratkan integritas moral. Oleh sebab itu, adab bekerja harus meliputi kejujuran, komitmen terhadap kualitas, penghormatan terhadap sesama pekerja, serta kesadaran untuk tidak merugikan orang lain. Etos kerja yang berlandaskan adab melahirkan profesionalisme yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga luhur secara moral.

        Dalam konteks profesi, adab juga berperan menciptakan keseimbangan antara kompetensi dan akhlak. Banyak problem etika di masyarakat modern, seperti korupsi, manipulasi administratif, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan jabatan, muncul karena hilangnya dimensi adab dalam praktik profesional. Adab di sini berfungsi sebagai benteng moral yang mengarahkan profesional untuk tetap mematuhi prinsip keadilan dan kemaslahatan publik. Hal ini sejalan dengan gagasan etika kerja Islam yang menuntut integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial sebagai nilai yang tidak boleh ditawar (Beekun, 2019).

        Integritas sosial menjadi isu penting dalam pemikiran etika modern, karena masyarakat dewasa ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kepercayaan publik. Erosi integritas sosial tidak hanya berdampak pada kualitas interaksi antarwarga negara, tetapi juga meruntuhkan legitimasi institusi publik. Adab sebagai nilai moral transenden memberikan landasan bagi pembentukan integritas sosial ini, karena ia mengajarkan kepekaan sosial, rasa malu ketika berbuat salah, dan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi moral. Dalam perspektif ini, masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang memelihara kepercayaan sebagai modal sosial utama.

        Selain itu, moral publik—yang menjadi ruh kebijakan sosial dan budaya—tidak dapat dilepaskan dari kesadaran etis masyarakatnya. Etika publik merupakan hasil dari internalisasi nilai-nilai moral yang kemudian diwujudkan dalam perilaku kolektif, tata kelola pemerintahan, kepemimpinan, dan hubungan antarindividu. Komaruddin Hidayat menekankan bahwa agama memiliki peran penting dalam menopang moral publik, selama agama itu dipahami secara rasional, inklusif, dan manusiawi. Dengan demikian, adab berfungsi sebagai jembatan antara kesalehan individual dan etika sosial.

        Dalam menghadapi modernitas, pertanyaan pentingnya bukan apakah masyarakat harus menjadi modern atau tidak, tetapi bagaimana nilai-nilai moral tradisi—seperti adab—dapat menemukan relevansinya dalam dunia modern. Etika modernitas menekankan rasionalitas, transparansi, dan akuntabilitas; nilai-nilai ini sejatinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip adab Islam. Bahkan, adab dapat menjadi ruh moral bagi etika modernitas sehingga modernitas tidak melahirkan manusia-manusia tanpa arah moral, melainkan pribadi-pribadi yang progresif sekaligus berakar pada nilai-nilai transenden.

        Relevansi adab dalam modernitas juga terlihat dalam dinamika teknologi dan digitalisasi. Di tengah penyebaran informasi yang serba cepat, adab menjadi penuntun untuk menggunakan teknologi dengan bijak, menghindari hoaks, menghormati privasi, serta berinteraksi secara santun di ruang digital. Dunia digital bukan ruang bebas nilai; ia justru menuntut tata krama baru yang tetap berpijak pada prinsip moral universal. Dengan demikian, adab menjadi pedoman yang elastis: mampu mengikuti perkembangan zaman tetapi tetap menjaga substansi etiknya.

        Peneguhan kembali adab juga penting dalam pendidikan, terutama dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga matang secara moral. Pendidikan adab merupakan investasi jangka panjang untuk membangun masyarakat yang beretika, berintegritas, dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, pemikiran Komaruddin Hidayat sejalan dengan gagasan pendidikan karakter yang menekankan keseimbangan antara ilmu dan moralitas. Ilmu tanpa adab akan melahirkan intelektual yang berbahaya, sementara adab tanpa ilmu akan melahirkan kesalehan yang tidak efektif.

        Sebagai penutup, adab tetap relevan sebagai landasan moral yang menjembatani nilai-nilai tradisi dan tantangan modernitas. Pemikiran Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa adab bukan sekadar etiket, melainkan etika spiritual yang membentuk cara manusia memahami diri, dunia, dan Tuhan. Dalam masyarakat modern yang sarat perubahan dan ketidakpastian, adab menjadi fondasi bagi pembentukan integritas sosial, profesionalisme beretika, dan moral publik yang kuat. Melalui adab, peradaban dapat tumbuh secara simultan: maju secara teknologi, kaya secara intelektual, dan luhur secara moral.***

Profil Penulis

Dawami lahir pada 15 Oktober 1975 di Bukit Batu, sebuah kampung pesisir yang tenang di tepian Selat Bengkalis. Dari ibunya, Rubiah, dan ayahnya, Busri, ia belajar tentang keteguhan hati, kesederhanaan, dan arti bekerja dengan penuh keikhlasan. Perjalanan pendidikannya membawanya ke Universitas Riau, tempat ia menamatkan studi S1 dan S2 pada jurusan Ilmu Komunikasi, sebuah bidang yang membuka cakrawala berpikirnya tentang manusia, pesan, dan peradaban. Saat ini ia melanjutkan langkah akademiknya pada jenjang doktoral di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau pada Program Studi Pendidikan Agama Islam. Di balik seluruh proses panjang itu, Dawami memegang satu prinsip hidup yang selalu ia jaga: menghadirkan kebahagiaan bagi orang-orang yang ia cintai dan memberikan nilai manfaat bagi sesama. Bagi Dawami, ilmu dan hidup adalah perjalanan untuk terus tumbuh, memberi, dan menebarkan kebaikan.






0 Response to " Etika Profesi dan Adab Masyarakat Modern (Komaruddin Hidayat)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel