Traktat Siak





Perseteruan Sultan Said Ismail dengan Tengku Putra yang melibatkan Adam Wilson berujung pada campur tangan Pemerintah Hindia Belanda. Pada Desember 1857, Gubernur Jenderal Puhud mengirimkan J.F.N. Nieuwenhuyzen (Residen Riau) dan penggantinya J.H. Tobias ke Siak. Ekspedisi Belanda ini bertujuan untuk mengusir Adam Wilson keluar dari Bengkalis.

Setelah berhasil mengusir Adam Wilson, kedua utusan Hindia Belanda tersebut kemudian mengadakan perundingan dengan Sultan Said Ismail, Tengku Putra dan Datuk Empat Suku untuk membuat sebuah perjanjian politik yang baru sebagai imbal budi atas usaha Belanda mengusir Adam Wilson. Pada 1 Februari 1858, sebuah perjanjian baru antara Siak-Belanda yang disebut dengan Traktat Siak ditandatangani oleh Sultan Said Ismail dari pihak Siak dan J.F.N. Nieuwenhuyzen mewakili pihak Belanda. Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diizinkan untuk mendirikan pos militer di Bengkalis.

Perjanjian yang terdiri dari 29 Pasal ini tidak hanya penting bagi Siak dan Belanda tetapi juga menjadi model bagi ekspansi yang dilancarkan Belanda pada masa-masa berikutnya. Khususnya dalam penaklukan negeri-negeri di pesisir timur Sumatera. Beberapa hal penting yang diatur dalam perjanjian ini adalah:

1. Sultan Siak menyatakan Siak sebagai bagian dari Hindia Belanda di bawah kedaulatan Belanda (Pasal 1).

2. Sultan Siak mengizinkan Belanda mendirikan pos militer, sebagai awal di Bengkalis, kemudian di tempat-tempat lain yang disepakati bersama (Pasal 4).

3. Semua pengganti Sultan dan Raja Muda wajib menyatakan taat setia sebelummya kepada Gubernur Jenderal, dan mendapat persetujuan dari Residen Riau (Pasal 30 dan Pasal 32).

4. Tanpa persetujuan Residen Riau, Sultan Siak tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan pemerintah asing atau mengizinkan orang asing untuk tinggal di Siak, mendapatkan hak atas tanah atau izin tambang (Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 17).

5. Pemerintah Hindia Belanda jika dikehendakinya dapat mengambil alih pajak kerajaan dan pendapatan-pendapatan lain, dengan syarat para kepala suku diberi ganti rugi yang sepadan (Pasal 26).

6. Sultan, Raja Muda, dan kepala-kepala suku tetap memiliki hak-hak kekuasaan masing-masing. Belanda tidak akan campur tangan dalam urusan “pemerintahan dalam negeri” Siak dengan syarat sultan dan kepala-kepala suku mematuhi perjanjian ini (Pasal 27).

Traktat Siak ini merupakan salah satu perjanjian Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal di wilayah taklukannya. Pada tahun-tahun berikutnya, bentuk perjanjiannya hanya dalam bentuk Akte van Verband dan Politik Contrack. Pada 1890, Sultan Syarif Hasyim menandatangani Lange Politik Contrack dengan Pemerintah Hindia Belanda yang membuat kuku Belanda kian mencengkam Siak. Perjanjian ini merupakan revisi dari Traktat Siak yang memberikan wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah Traktat Siak disepakati, bermacam bentuk tindakan dipaksakan kepada kerajaan Siak Sri Indrapura dan rakyatnya seperti: pajak nelayan, pajak monopoli pemasukan candu dan garam, bea masuk Sungai Siak, pajak lalu lintas bagi orang asing serta pajak hasil hutan. Semua jenis pajak ini merupakan hak Belanda dan merupakan sumber pemasukan penting bagi mereka.

Dengan adanya perjanjian ini, boleh dikatakan Siak telah kehilangan kekuasaan dan kedaulatannya. Meski disebut dalam perjanjian tersebut Siak masih memiliki kewenangan terhadap wilayahnya, namun pada pasal-pasal lain dinyatakan bahwa Siak berada di bawah naungan Hindia Belanda.

Dengan disepakatinya Traktat Siak, Belanda yang selama ini mengincar Pulau Bengkalis mendapatkan legitimasi untuk menguasainya. Posisinya yang strategis menjadikan pulau ini layak dikembangkan sebagai pangkalan militer, pusat perdagangan serantau serta sebagai pusat pentadbiran Pemerintah Hindia Belanda untuk kawasan pesisir timur Sumatera.

Belanda berupaya keras untuk mengembalikan kejayaan Bengkalis dan menyesali atas perlakuan Siak yang hanya mengambil untung dari sumber daya yang dimiliki Bengkalis tanpa upaya untuk mengembangkannya. Dengan sinis Netscher dalam De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602 tot 1865 memaparkan bagaimana pengabaian dan salah kelola Siak terhadap Bengkalis menyebabkan kemunduran dahsyat daerah ini. Pelabuhan Bengkalis yang satu ketika dahulu adalah pelabuhan yang demikian ramai sebagaimana laporan Gubernur Balthasar Bort pada 1680 menjadi sebuah kampung nelayan kecil yang sepi pada 1860. Bagaimana Bengkalis sebagai sebuah tempat yang memiliki potensi yang demikian besar dengan aktivitas perdagangannya menjadi tertinggal dan terbengkalai hanya karena diurus oleh pemerintahan yang buruk (wanbestuur).

Terlepas dari berbagai permasalahan yang ditimbulkannya, Traktat Siak memberikan nilai positif dalam upaya membangkitkan kembali peran Bengkalis sebagai pusat perdagangan di rantau ini sebagaimana yang dijalankannya pada masa Kerajaan Melaka atau Kerajaan Johor.




0 Response to "Traktat Siak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel