Qua Vadis 2019, Presiden Baru dengan Ibukota Negara Republik Baru



KESERIUSAN untuk memindahan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari pusat pemerintahan yang sekarang berada di Pulau Jawa, tepatnya di DKI Jakarta ke pulau di luar Pulau Jawa kembali menjadi perdebatan yang sebenarnya sudah menuju titik terang.

Sejumlah usulan pun bermunculan, dimana tempat yang cocok untuk dijadikan pusat pemerintahan baru tersebut. Padahal, sebagaimana disebutkan dan dijelaskan penulis buku ‘Sukarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya’, Wijanarka, dikutip BBC Indonesia, 30 April 2019 menyatakan bahwa Presiden RI, Ir Soekarno mencuatkan ide pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya pada periode tahun 1957-1958.

Alasannya sangat sederhana sekali yakni dimana Nama Palangkaraya (muncul) karena berada persis di tengah NKRI, di tengahnya Indonesia. Atas dasar itu, Palangkaraya menjadi lebih populer sebagai calon ibukota dari kota lainnya. Apa ini salah dan bebas dari polemik pada zamannya, tidak dan hingga kini masih berpolimik setiap lima tahun sekali diawal dan diakhir masa jabatan. Kalau sudah ditengah masa jabatan maka wacana ini kembali menguap.

Walaupun sebenarnya, bukan hanya Indonesia, ada sejumlah negara malah kini ibukota negaranya sudah pindah. Sebut saja seperti negara tetangga kita Malaysia yang semula pusat pemerintahan berpusat di Kuala Lumpur maka kini sudah dikendalikan di Putra Jaya pada tahun 1999. Kemudian ada Myanmar dari semulanya di Yangon maka pusat pemerintahan di pemindahan ibukota administratifnya ke Naypyidaw.

Ada yang paling menarik lagi, pada tanggal 21 April 1960, Brasil mencatat sejarah baru dengan memindahkan ibukota negara dari Rio de Janeiro ke Brasilia sebagai kota yang memang dirancang untuk keperluan tersebut.

Menariknya dalam kasus Brasil seperti dikutip dari Tempo.co dimana menyebutkan untuk master plan-nya disayembarakan secara internasional untuk mendapatkan desain terbaik. Lalu, konstruksi awalnya butuh hampir empat tahun. Dengan desain yang menarik Brasilia dianugerahi status World Heritage oleh UNESCO.

Untuk kasus pemindahan ibukota NKRI yang sudah digaungkan sejak Zaman Presiden RI Pertama, H Soekarno dengan menyebut langsung bernama Palangkaraya pada periode tahun 1957-1958. Kini kembali mendapat tempat dan menjadi pembahasan serius. Apalagi, rencana ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat dan tidak hanya sekedar menjadi wacana saja. Sebab sejak era Pemerintahan Presiden RI, H Joko Widodo dan HM Yusuf Kalla dan menjadi presiden pada Pemilihan tahun 2014, pemerintah menunjuk khusus Badan Perencanan Pembangunan Nasional (BAPENAS) untuk membuat perencanana dan penelitian lebih konkrit untuk rencana pemindahan ibukota tersebut.

Lalu, apa yang paling menarik dari pemindahan ibukota negara ini untuk dipilih menjadi bahan kajian ditelaah dalam tugas mata kuliah Kajian dan Pengembangan Teori Komunikasi. Hal ini disebabkan adalah bukan karena persoalan pemindahannya, tapi lebih kepada kembali hangatnya wacana ini digaungkan karena bersamaan dengan menghangatnya sejumlah persoalan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang saat ini masih menunggu proses akhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga opini yang muncul adalah bahwa pemindahan pusat ibukota pemerintahan lebih kepada pengalihan politik dari carut marutnya penyelenggaraan Pemilu 2019. Benarkah itu atau ada sisi lain dari masalah ini yang sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam.


ANALISIS TEORI RETORIKA

Guna menemukan titik terang secara keilmuan dan ditelaah secara teori maka teori komunikasi yang akan digunakan adalah Teori Retorika Aristoteles. Alasan menggunakan teori ini disebabkan sesuai dengan pemikiran pengamat dan ahli Komunikasi Indonesia, Dr Antar Venus, M.A dalam bukunya Manajemen Kampanye bab V tentang Desain Pesan Kampanye secara jelas mengatakan kenapa teori retorika bisa digunakan untuk mencari dan menelusuri kasus komunikasi. Sebabnya, dalam teori dijelaskan bahwa untuk memberikan keyakinan dan mempengaruhi orang maka pemberi pesan harus mampu memberikan alasan mengapa seseorang harus menerima tindakan yang kita sarankan.

Oleh sebab itu, dalam kasus pemindahan ibukota negara Republik Indonesia ini maka Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat melalui pesan terhadap pemindahan ini. Jika pesan yang disampaikan tidak meyakinkan, maka sesuai dengan teori ini maka pemerintah dinilai gagal membuat masyarakat mengikutinya dan paham.

Disamping itu, alasan lain mengapa teori ini bisa digunakan untuk melihat seberapa khalayak yakin dengan rencana pemindahan ini kata pakar komunikasi ini lagi, adalah karena teori ini bisa menjadi pijakan untuk menilai mana yang benar dan tidak benar dari beragam pesan yang sampai kepada mereka.

Sejak wacana ini, digulirkan maka banyak terjadi pro dan kontra sehingga yang diharapkan pesan yang disampaikan adalah pesan yang benar dan kuat secara alasan pemikiran ilmiahnya. Makanya, kata Antar Venus, menyebutkan kalau teori retorika pada dasarnya merupakan teori persuasi. Dimana persuasi bukanlah merupakan propaganda membenarkan manipulasi, desepsi atau pemaksaan. Tapi dalam pesan persuasi, seseorang diajak berpikir atau menimbang-nimbang benar-tidaknya suatu pesan berdasarkan tiga aspek yaitu ethos, pathos dan logos.

Hanya saja sebelum sampai kepada penguraian mengenai tiga aspek tersebut maka ada baiknya dijelaskan dulu kenapa judul diawal dengan memakai ‘Qua Vadis. Alasaannya tidak lain adalah sesuai dengan definisi kata Qua Vadis itu sendiri yakni berasal dari Bahasa Latin yang artinya: “Kemana kamu pergi atau hendak dibawa kemana?”

Sesuai dengan tulisan di www.kompasiana.com/wicahyanti.pratit terbit 2 Desember 2014 pukul 05:08 diperbarui: 17 Juni 2015 pukul 16:17 diceritanya bagaimana awal kata atau istilah Qua Vadis ini diucapkan yakni “Quo Vadis” adalah sebuah lukisan yang dibuat oleh seorang pelukis yang bernama Annibale Carracci yang ditempatkan di National Gallery, London pada Tahun 1602. Kemudian untuk pengertian quo vadis secara hukum diartikan sebagai pergi kemana, sedangkan secara politik maka diartikan hendak dibawa kemana.

Maka untuk analisis dari tulisan ini maka kita lebih menggunakan qua vadis dari pengertian politik yakni hendak dibawa kemana. Alasanya tidak lain, wacana ini tidak lepas dari gesekan politik. Sebenarnya, kalau mau jujur ide awal Ir Soekarno mengeluarkan ide wacana untuk memindahkan pusat pemerintahan diluar pulau Jawa juga untuk menyenangkan hati masyarakat Indonesia yang berada dibeberapa pulau besar lainnya diluar pulau Jawa.

Hari ini, ketika Presiden Joko Widodo kembali memanaskan wacana pemindahan ibukota negara RI diluar pulau Jawa juga tidak terlepas dari isu Jawa centris dalam pemerintahannya. Terutama kalau pasangan Joko Widodo dan KH Ma’aruf Amin secara legal dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilpres 2019 oleh KPU.

Oleh sebab itu, kalau ditelaah dari tiga aspek pesan persuasi yaitu ethos, pathos dan logos maka wacana ini biasa diterima dengan baik oleh masyarakat. Pemerintah tinggal menyiapkan dari aspek logosnya sehingga wacana ini lebih serius dan terukur sehingga tidak menjadi ajang komuditas politik setiap lima tahun sekali. Dan DKI Jakarta menjadi langganan banjir, macet dan sebagai kota terburuk di dunai juga tidak menjadi barang dari komuditas politik sehingga tidak sampai kepada menjadi propaganda.

Ketiga aspek tersebut pertama yakni Ethos dimana untuk aspek ini sesuai dengan penjelasan dari buku Dr Antar Venus disebutkan pesan yang disampaikan berkaitan dengan kepercayaan khalayak kepada sumber pesan. Atau dalam bahasa ilmiahnya disebut khredibilitas sumber-sumber pesan harus bersifat dapat dipercaya. Tapi ketika khalayak sampai mengetahui bahwa sumber pesannya tidak kridibel atau tidak dapat dipercaya maka apapun himbauan yang disampaikan baik itu bersifat rasional, emosional, sosial atau religius maka tidak akan berguna sama sekali sehingga pesan hanya terkesan angin lalu saja.

Untuk pemindahan ibukota NKRI dari DKI Jakarta yang berada di Pulau Jawa ke pulau lainya diluar pulau Jawa maka untuk aspek Ethosnya langsung disampaikan proklamator bangsa Indonesia, Ir Soekarno pada periode tahun 1957-1958 dengan langsung menyebut nama daerahnya yakni Palangkaraya. Hanya saja memang, Ir Soekarno tidak langsung merealisasikan keinginannya tersebut tapi baru sebatas menjadi wacana jika pulau Jawa sudah padat dan tidak layak lagi menyandang sebagai ibukota pusat pemerintahan NKRI.

TaPi wacana tersebut, bagi masyarakat Indonesia berkeyakinan bahwa suatu saat ibukota pemerintahan NKRI akan pindah ke Palangkaraya, Pulau Kalimantan. Dan wacana tersebut selalu mendapat tempat pebincangan serius juga oleh sejumlah mantan Presiden RI seperti BJ Habibie, SBY hingga Joko Widodo.

Wacana ini kembali menggelegar langit bumi nusantara ketika Presiden RI, Ir Joko Widodo menyampaikan usai meninjau buruh di PT KMK Global Sports I, Kelurahan Talagasari, Kecamatan Cikupa, Tangerang, Banten, Selasa (30/4/2019) seperti dikutip dari www.tribunnews.com dengan mengatakan kalau pemerintah sudah menyiapkan pemindahan ibukota negara dengan tiga kandidat lokasi yang bakal menjadi lokasi pemindahan ibu kota negara, yakni Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan. “Bisa di Sumatera, tapi kok nanti yang timur jauh. Di Sulawesi agak tengah tapi di barat juga kurang. Di Kalimantan kok di tengah tengah. Kira kira itu lah,” ungkapnya.

Tapi lebih lanjut, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menjelaskan kalau tiga kandidat wilayah itu merupakan kelanjutan dari Rapat Terbatas (Ratas) membahas tindak lanjut rencana pemindahan ibu kota di Kantor Presiden dengan melakukan pengkajian dari semua aspek mengenai lingkungan, daya dukung lingkungan, kebencanaan dan lainnya. Selain pemilihan lokasi ibukota baru juga harus mempertimbangkan posisi geografisnya di antara kota-kota besar lain di kawasan Asia Tenggara.

Tapi diujung kalimat dari wawancara tersebut, Presiden Joko Widodo menekankan secara ethos dimana “Yang jelas, lokasinya akan berada diluar Jawa,’’. Kalimat inilah yang sebenarnya,ditunggu oleh penerima pesan. Yakni secara aspek ethos maka sumbernya berkridibel yakni presiden RI sehingga pesannya yang diucapkan pun akan dianalisis, dicerna dan diyakini kebenarnya. Sehingga penerima pesan yakni bahwa Ibukota negara segera akan dipindahkan, karena yang bicara adalah seorang Presiden yang pesannya disebarkan melalui media.

Untuk aspek kedua yakni pathos, dalam aspek ini dalam pandangan Aristoteles sebagaimana dijelaskan Dr Antar Venus, M.A dalam bukunya Manajemen Kampanye edisi revisi yang ditekankan dalam aspek ini adalah emosional. Sebab dalam pathos, argumentasinya bersifat emosi dengan membangkitkan rasa bersalah, belas kasihan, ketakutan, solidaritas atau kebanggaan.

Pertanyaannya adalah apakah dengan kembali menggaungkan wacana ini, Presiden Joko Widodo ingin kembali merajut kebersamaan dalam membangun Indonesia sedikit terkoyak-koyak karena pasca prosesi pemilihan presiden. Apalagi sejak munculkan slogan 01 dan 02 sehingga masyarakat Indonesia pun dibuat terkadang jauh dari berpikir dan bersikap rasional.

Tapi dengan dukungan media, sepertinya aspek pathos menemukan titik terang dari wacana pemindahan ibukota negara diluar pulau Jawa. Walaupun letaknya belum disampaikan tapi paling tidak bagi masyarakat Palangkaraya sudah bersiap-siap untuk bangga menyambut menjadi ibukota NKRI sehingga timbul kebanggan dan membangkitkan emosi.

Apalagi tokoh Indonesia Timur yang selalu jadi panutan, kini juga Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla dikutip dari Tempo.co, Selasa, 30 April 2019 16:05 WIB menyatakan kalau tujuan awal pemindahan ini adalah untuk memeratakan ekonomi bangsa dan pemerintah yang lebih fokus. Jakarta dinilainya sudah cukup padat dan terlalu macet.

Sedangkan aspek ketiga yakni logos, Aristoteles sebagai tokoh teori ini sebagaimana dikutip dari buku edisi revisi, manajemen kampanye karya Dr Antar Venus, M.A disebutkan kalau aspek logos dapat disamakan dengan aspek rasionalitas pesan. Dimana lebih menekankan kepada data dan hasil-hasil penelitian atau hal-hal lain sekedar hasil pemikiran.

Untuk wacana pemindahan ibukota negara ini, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla kembali mengulang dan memberikan alasan secara rasional dimana mengatakan pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa adalah bentuk perwujudan cita-cita adanya ibukota yang hanya fokus sebagai ibu kota pemerintahan. Jakarta akan tetap berkembang, meski tak lagi jadi ibu kota negara.

JK berharap Jakarta dapat berkembang menjadi kota yang fokus pada perdagangan, seperti halnya New York di Amerika Serikat. ‘’Cita-cita ke depan, ada Washington jadi ibu kota yang lebih kecil, ada New York yang menjadi kota dagang dan kota bisnis serta kegiatan lainnya masyarakat itu,” kata JK dikutip tempo.co yang ditemui di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa, 30 April 2019.

Sedangkan Dalam rapat kabinet terbatas, Senin (29/04), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan realisasi pemindahan ibu kota dapat memakan waktu 10 tahun jika melihat pengalaman Brasil dan Kazakhstan.

Dalam pemaparannya di rapat kabinet terbatas pada Senin (29/04), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (BPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut banyak faktor yang membuat DKI Jakarta tidak layak dipertahankan sebagai ibu kota.

Dua yang utama adalah Pertama, Jakarta mempunyai persoalan lalu lintas yang kian lama kian padat. Ibu kota Indonesia itu menempati peringkat keempat kota terburuk sedunia berdasarkan kondisi lalu lintas saat sibuk dari 390 kota yang disurvei. Demikian dipaparkan Bambang. Kemacetan di Jakarta semakin memburuk yang menimbulkan kerugian ekonomi Rp56 triliun berdasarkan kalkulasi tahun 2013. Perkiraan angkanya sekarang sudah mendekati Rp100 triliun per tahun dengan makin beratnya kemacetan di wilayah Jakarta.

Kedua, DKI Jakarta semakin rawan banjir. Sekitar 50% wilayah Jakarta masuk kategori rawan bajir atau memiliki tingkat kerawanan banjir di bawah 10 tahunan. Kondisi itu jelas membuat Jakarta tidak lagi layak menjadi ibu kota, sebab sebagaimana dikatakan oleh Bambang, idealnya tingkat kerawanan banjir untuk kota besar minimum adalah 50 tahunan.

Sebagaimana disebut di bagian awal, keinginan memindahkan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke tempat lain sudah lama ada dan keinginan yang belakangan tampak semakin bulat itu diyakini didukung pula oleh kepasitas.

Secara ekonomi, kita mampu. Dari segi wilayahnya, kita punya. Sekarang memang lebih kepada kemauan politik, mau atau tidak. Yakin kalau kita punya kemauan politik, kita mampu menjalani proses pemindahan ibukota dengan lebih cepat lagi. Semoga, pemindahan ibukota ini tidak hanya menjadi wacana awal dan akhir masa jabatan seorang presiden. Atau sebagaimana banyak pengamat menilai hanya menjadi pengalihan isu dari isu besar carut marut pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019. ****

*Dawami, Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik, Fisip Universitas Riau (tulisan ini merupakan tugas analisis perkuliahan teori komunikasi yakni teori Retorika Aristoteles dengan dosen Dr Antar Venus M.A).


0 Response to "Qua Vadis 2019, Presiden Baru dengan Ibukota Negara Republik Baru"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel